December 27, 2010

Filosofi Sepak Bola

Pada suatu sore, seorang kakek sedang duduk di belakang beranda rumahnya. Dari bangku kayu bercat putih tempat dia duduk, ia mengamati sekelompok anak muda yang sedang bermain sepakbola. Nampaknya mereka adalah anak-anak SMP di desa si kakek yang sedang mengadakan pertandingan persahabatan antar sekolah.

Sang kakek mengamati keriuhan itu dari kejauhan, dan nampaklah penonton-penonton yang antusias, yang sesekali bersemangat tatkala tim yang didukungnya hampir mencetak gol, namun tiba-tiba melemas tatkala tim yang didukung kebobolan gawang.

Ia juga mengamati beberapa pemain cadangan yang duduk di pinggir lapangan, menunggu giliran mereka masuk, sambil terus menyemangati pemain-pemain inti yang sedang berlaga.
Beberapa kali, wasit mengeluarkan kartu kuning pada beberapa pemain atas pelanggaran yang mereka lakukan.

Di lapangan hijau itu, 22 pemain memperebutkan si kulit bundar. Di antara mereka ada yang bertugas sebagai penjaga gawang, striker, back, dan juga ada yang disebut goal maker. Yang terakhir ini biasanya yang dielu-elukan oleh penonton. Si kakekpun berpikir: apa jadinya ya, kalau setiap pemain ingin menjadi striker?

Prit prit priiit..! Peluit dua kali sudah ditiup tanda permainan usai. Cucu sang kakek yang juga menjadi pemain dalam pertandingan itu berjalan menuju rumah kakek sambil tersenyum puas: dia berhasil mencetak satu gol kemenangan untuk timnya.

Iapun dengan bangganya bercerita panjang lebar bahwa dialah pahlawan dalam pertandingan itu.
Namun, sang kakek dengan sangat lembut menjawabnya: “Cu, kau memang cucu kakek yang terhebat. Kau juga pemain yang handal. Tahukah kamu, bahwa kemenangan ini bukan hanya karena kau?”

Si cucupun merasa tidak terima, “Iya, saya tahu saya tidak main sendiri. Tapi kalau bukan karena saya, tim ini tidak akan menang.”

Sang kakekpun menjawab, “Cu, tahukah kamu, bahwa permainan sepakbola bukan hanya tentang formasi tim, latihan yang sempurna, dan permainan yang bagus? Sepakbola juga mempunyai nilai-nilai unggulan yang bisa kita jadikan pedoman dalam menjalani hidup ini”

“Memang apa saja nilai-nilai itu kek?”

Nilai pertama, kau lihat bahwa ada sebelas orang bermain dalam satu tim dengan tugasnya masing-masing. Jika beruntung, bisa menjadi pemain inti, jika tidak, cukup puas sebagai pemain cadangan. Tiap-tiap kita mempunyai peran dalam hidup ini yang harus kita terima dan jalankan dengan ikhlas dan sebaik mungkin. Saat kita diberi peran dengan tanggung jawab besar, maka lakukanlah yang besar. Saat kita dituntut untuk berperan sebagai orang cadangan, maka jalankanlah dengan sebaik-baiknya. Sebab satu tim bisa menang jika ada yang ikhlas menjadi back atau pemain cadangan, bukan semua menjadi striker. Maka tepatlah jika engkau melaksanakan nasihat Ki Hajar Dewantara “Ing Ngarso sun Tulodho, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani”

Nilai kedua, kau lihat, penonton-penonton itu begitu bebasnya berkomentar. Kelak ketika kau mulai memasuki kehidupan ini, komentar-komentar baik maupun buruk akan selalu mengiringi setiap usahamu. Maka jadilah pemain sepakbola yang tangguh, yang tak menjadi pongah oleh pujian, tak pula menjadi lemah karena cacian.

Nilai ketiga, kau ingat timmu dalam 10 pertandingan terakhir selalu kalah, namun kali ini, berkat latihan keras dan belajar dari pengalaman kalah, timmu bisa menang. Tatkala kau berproses, cucuku, kegagalan adalah kawan akrabmu. Maka janganlah engkau menyerah oleh kegagalan, sebab kemenangan itu sebenarnya selalu menantimu, jika engkau pantang menyerah dan mau belajar dari keberhasilan dan kegagalanmu sebelumnya.

Nilai keempat, kau tahu, wasit memberikan kartu kuning pada pemain yang melakukan pelanggaran. Artinya apa? Setiap perbuatan ada konsekuensinya, tiap kesalahan ada punishmentnya. Pemain yang diberi kartu kuning oleh wasit harus legowo menerimanya, seperti juga ketika engkau diingatkan oleh seseorang atas kesalahan yang engkau lakukan, maka terimalah ia dengan lapang dada, meskipun pedih di dada ia akan mengantarmu pada dirimu yang lebih baik.

Nilai kelima, kau lihat beberapa kali striker mencoba menembak bola ke arah gawang, tapi beberapa kali pula digagalkan oleh tim lawan. Gawang itu ibarat tujuan hidupmu, mimpimu, obsesimu. Perjalanan meraih mimpi itu tidak semulus yang kita inginkan. Untuk menaklukannya, maka kau harus menghadapi kesulitan dan rintangan. Sesulit apapun, kau harus memasukkan bolamu ke gawang, baru kau bisa jadi pemenang.

“Wah, banyak sekali ya kek ya, nilai yang kita peroleh dari permainan sepakbola ini. Saya akan ingat itu kek.”
“Baiklah cu. Pesan terakhir kakek: pertandingan bola hanya 2×45 menit. Hidup ini pun terbatas waktunya. Maka gunakanlah waktumu sebaik mungkin.”
“Siap, kek!”.

October 5, 2010

(bahwa) cinta itu ada




Bagaimana aku tahu jika berkata saja kau tak mau

Bertahun-tahun kita terduduk dalam ruang rindu

Menggapai-gapai ingatan akan kenangan yang hampir menjadi abu

Lalu meletakkannya tepat di dada, sambil memejam sendu.



Ingin ku sandera malaikat penjaga hatimu,

Untuk meminjamiku kunci masuk ke pintu-pintu

Mencari  jawaban yang aku tunggu-tunggu

Yang tak pernah tersampaikan oleh bibirmu yang gagu.



Mana bisa aku berharap,

Jika rasamu pun bagiku masih abstrak,

Bercabang-cabang pada ratusan interpretasi

Hingga hatiku terlalu takut untuk berinisiasi.




Tahun-tahun panjang yang terbentang tergulung dalam bilangan menit,

Tatkala tiba-tiba sebuah kata itu terbit,

Membungkus segala penantian, mengikat segala keresahan

Dan merangkumnya dalam kesyahduan.



Menit-menit menjalin jam-jam sejarah,

Merekam setiap jejak kata yang menanti lahirnya dengan parah,

Mengalir, menghanyut dan bermuara,

Berlabuh indah dalam satu kata cinta.

Curhatan si Facebook


Perkenalkan, namaku facebook. Seperti namaku, aku terlahir untuk memajang wajah-wajah di badanku. Begitu aku lahir, hampir semua orang menyukaiku, mereka mengunjungiku tiap hari, bahkan ada yang tiap saat menghampiriku.


Aku senang sekali karena aku punya banyak sekali sahabat, hari-hariku tak pernah sepi. Walaupun di luar sana, di taman-taman, di sekolah-sekolah, di rumah-rumah yang biasanya hangat dengan canda jenaka menjadi sepi karena mereka lebih suka bercanda denganku. Tentu saja, karena aku juga menyenangkan hati mereka.


Aku buat mereka merasa hebat, aku membuat mereka merasa penting, aku membuat mereka merasa terkenal, sebagian aku buat merasa lebih ekspresif, natural, dan bahkan ada yang aku buat merasa lebih spiritual. Aku menyediakan apapun yang membuat mereka merasa betah bersamaku. Aku buat mereka merasa layak diperhatikan dengan "post to profile"ku. Aku tertawa terbahak-bahak ketika aku melihat ulah mereka yang beragam. Ada yang tiba-tiba menjadi artis dengan menyebutkan apapun yang mereka lakukan. Ada yang suka menyebutkan sedang berada di tempat prestise sehingga mengundang banyak respons dari teman mereka. Lalu aku buat mereka merasa penting dengan "comment" yang aku punya. Tak ayal aku berhasil membuat mereka hidup di awang-awang. Tiba-tiba seorang nerd merasa menjadi superb, seorang pemalas merasa mereka normal dan tidak salah, seorang apatis merasa paling kritis, seorang minor merasa menjadi mayor. Aku benar-benar menyenangkan mereka sampai-sampai mereka tak lagi butuh approval dari orang-orang di sekitar mereka lagi. Mereka hanya butuh approval yang datang dari "teman-teman" mereka yang aku sponsori..


Aku juga punya "note" yang sangat mereka gemari. Mereka menulis apa saja yang mereka anggap keren. Dan pintarnya aku, aku selalu membuat mereka merasa keren. Entahlah walaupun dalam dunia nyata mereka, mereka hanya pecundang, yang penting aku membuat mereka merasa keren. Ada yg menulis curhat, ada yang mempost tulisan copy-paste dari link sebelah agar terkesan suka membaca, ada yang menjual barang, ada yang menulis puisi, ada yang menulis resep, bahkan ada yang menulis ulang lirik lagu! Dan aku manggut-maggut saja saat mereka menulis itu semua di wajahku. Meskipun entahlah apakah mereka benar-benar bermanfaat bagi lingkungannya dengan tulisan-tulisan mereka di dunia nyata mereka. aku tak pduli. Mereka yang memilihku, dan aku menyenangkan mereka. Mereka semakin merasa keren. Aku memang hebat.



Kini aku bertambah besar, dan kawankupun semakin banyak. Bahkan ada yang bilang, jika aku ini negara, aku adalah negara terbesar ketiga setelah USA dan Indonesia. Bayangkan itu! Betapa aku hebat, huh?
Kawan-kawanku kini bukan lagi hanya internet geek kesepian yang menghabiskan waktunya di depan layar konputer dan lingkungan sosial yang hampir gk ada. Kini, kawanku adalah Presiden, artis, pedagang, pelajar, dosen, guru, dokter, kiai, istri, suami, ibu, ayah, anak, dan banyak lagi. Mereka sangat mencintaiku seperti ke anaknya sendiri. Bahkan lebih dari anaknya sendiri. Lebih dari ibunya sendiri. Lebih dari saudaranya sendiri. Bagaimana tidak, aku yang semakin cerdas ini begitu lihai menghubungkan mereka dengan kawan-kawan baru dan lama mereka, membuatnya terasa sangat nyata, membuatnya terasa sangat menginspirasi, terasa sangat sarat ilmu dan manfaat. Dan merekapun dengan prinsip "mencari yang lebih bermanfaat" ala buatanku, akhirnya lebih sering mengunjungiku untuk melihat kawan-kawan yang menjadi keluarga mereka itu.


Aku sekarang sedang duduk di atas kursi ayunq.. sambil menatapi mereka yang selalu mendatangiku.. dalam hatiku masih saja aku bergumam:
"heh, manusia, kalian pikir kalian hebat? Kalian pikir kalian sudah menghasilkan karya, padahal semua yang kalian lakukan hanyalah mengupdate status, menulis note, yang bahkan dunia nyatamu tak mengenalinya. Kalian pikir kalian adalah makhluk yang paling sociable, padahal kalian hanyalah menatap layar dan "merasa sangat sociable" dengan ratusan list teman yang kalian punya. Kalian pikir kalian sangat sayang keluarga, padahal yang kalian lakukan hanyalah menulis kalimat di "wall" anak/orang tuamu. atau hanya "menge-like" status mereka. Kalian pikir kalian sangat agamis. Padahal kalian hanya menuliskan ulang ayat-ayat, hadist-hadist, artikel-artikel di note atau update status mereka. Kalian pikir kalian sangat menjaga pandangan dan pergaulan, pdahal list teman fb kalian begitu panjang bahkan hanya sebagian kecil dari mereka yang benar-benar kalian temui di dunia nyata kalian. Padahal kalian berseloroh melalui comment2 yang kalian tulis.
Kalian merasa hebat dan benar, padahal yang trjadi hanyalah comment2 semu dan tak tentu validitasnya saja yang bersarang di status kalian.
Hahaha,,aku sangat puas... Aku telah melaksanakan kewajibanku dengan sangat baik! menyenangkan hati kalian..


Hidup maya adalah hidup nyataku, tapi kau, sahabat-sahabatku, hidup nyata adalah ladang hidupmu yang sebenar-benarnya. Lagi-lagi aku ingin trtawa terbahak-bahak. Pengunjung setiaku yang merasa hebat, jumawa, keren, funky, spiritual itu mungkin akan terperangah jika mereka menyadari bahwa "peran" nyata mereka di dunia nyata mereka ternyata tidak sekeren yang mereka rasakan ketika mereka bersamaku. mereka bahkan tidak menebar manfaat ke lingkungan dan keluarga mereka. Mereka tak layaknya apatis yang merasa benar, hebat, dan keren dengan bersamaku. Lagi-lagi misiku berhasil dengan gemilang!


Aku biarkan saja mereka, sampai mereka tersadar sendiri, karena tugasku bukan mengingatkan ataupun mengarahkan ke jalan yang benar, tugasku hanyalah menyenangkan mereka. And I love my job. Mereka? Mungkin dunia nyata mereka justru membencinya. Aku tak perduli.

Tanya pada langit


Tanyakan arti kesediaan

Pada langit pagi yang menawan

bangun pagi demi mengawal

sang mentari yang buru-buru datang.



Tanyakan arti kekuatan

pada langit siang yang terik

pada langit tua yang semakin menipis

pada troposfer yang tak pernah menangis.



Tanyakan arti keindahan

pada langit sore yang menakjubkan

mentari dia antar pulang

dengan jingga sejuk pandang



Tanyakan arti rindu pada langit malam,

yang merangkum hari dalam kelam,

yang menyulut bintang gemintang,

yang mengundang rindu dendam.

March 18, 2010

Bekerja dengan hati (oleh: Arman Dhani Bustomi)



* Sebuah tulisan dari seorang sahabat senasib dan seperbingungan, semoga menginspirasi dan memotivasi kita untuk terus berproses *


Saya, teman saya dan mungkin juga anda selalu dipusingkan dengan pertanyaan klise macam ini. Kapan lulus (bagi yang kuliah)? Berkembang menjadi, kapan Kerja? Makin menyebalkan menjadi, Kapan Nikah? Dan mungkin yang sedikit menghibur, Kapan punya anak? Saya sendiri memang tidak pernah memusingkan hal-hal tadi, atau lebih tepatnya menolak memikirkan, sehingga tidak jadi pusing memikirkan hal-hal tadi. Bukan karena saya pengecut untuk lari dari tanggung jawab, tapi lebih kepada bagaimana saya memandang permasalahan tadi sebagai sebuah alur hidup. Dihadapi dengan santai, pusing dan keras akan memiliki hasil yang berbeda-beda tergantung bagaimana anda berusahanya.

Beberapa hari lalu saya pergi ke gedung rektorat universitas saya. Dilorong jalan menuju bagian kemahasiswaan saya bertemu dengan tiga gadis yang secara fisik cantik, semampai, semohai atau dalam artian badaniah seksi abis. Ketiganya sedang mengurus syarat kelulusan dan wisuda. Saya iseng menguping pembicaraan ketiga gadis tersebut. Gadis A berpakaian hitam, celana ketat, sepatu putih, dan bermake up tebal, berbicara “untunge mas (sensor) wes megawe dadi aku iso rodo tenang, isolah nguripi aku” ujarnya. Gadis B, berpakaian putih, berkerudung “gak niat”, masih seksi, dan make up tebal, berkata “ojo ngandelno wong lanang,(kita) musti bisa berusaha cari duit dewe, mengko yen due anak dadi ora repot”. Gadis C sedikit pendek berpakaian sangat hot dan make up tebal berujar “iyo, duh mugo-mugo ndang ketrimo megawe, trus mas (sensor lagi) ndang nglamar aku”. Saat itu saya hampir saja menabrak seseorang di lorong jalan. Karena, pertama, terpesona secara fisik oleh ketiga gadis tadi, berusaha nguping dan saya memang ceroboh.

Tulisan ini bukan tentang betapa seksinya gadis-gadis tadi, tapi lebih pada obrolan mereka. Saya pribadi tidak peduli tentang bagaimana nasib saya setelah lulus nanti, oke saya bohong, saya SANGAT KEPIKIRAN SAMPAI MAU GILA! Kerja jadi semacam teror tersendiri buat saya, setiap mendengar kata-kata itu saya jadi lemas dan mau menangis saja. Sampai umur saya yang hampir seperempat abad ini saya masih belum mapan. Belum bisa memberi banyak terhadap orang tua yang sudah berjibaku merawat sejak dalam kandungan. Orang bilang saya aktifis yang katanya membela kepentingan rakyat, berjuang demi rakyat dan memberi untuk rakyat. Saya sendiri jadi malu dengan status banal artifisial macam ini. Siapa bilang hal itu gagah? Itu tanggung jawab! Siapa bilang itu keren? Itu beban! Untuk menghidupi diri saja saya mesti meminta bantuan pada kakak dan orang tua saya. Perjuangan tidak dibangun dari belas kasih, kemandirian, kerja keras dan disiplinlah yang membentuk itu semua.

Saya bukan orang yang pilih-pilih kerja, kedua orang tua saya sudah mengajarkan kemandirian sejak kecil, dan seringkali dalam beberapa hal didikan orang tua saya membuat saya jadi oportunis, jeli melihat peluang dan sedikit matrealis dalam memandang hidup. Dimulai saat ayah saya kecelakaan, keluarga kami yang semula sederhana mulai masuk ke dalam kategori keluarga miskin versi PBB. Saat itu saya masih kelas 3 SMP. Keluarga saya pontang-panting kesulitan membiayai penfgobatan kecelakaan ayah saya yang gegar otak berat, 3 kakak saya yang kuliah, saya dan adik saya yang masih belajar di pendidikan dasar. Jadilah ibu saya didaulat menjadi kepala keluarga, bekerja dari pukul 5 pagi sampai 9 malam. Sering lupa makan, lupa sholat tapi tak pernah lupa memberi makan saya dan adik saya.

Kira-kira paruh waktu kelas 3 SMP, ibu saya sudah hampir kelimpungan dalam pembiayaan sehari-hari dan biaya pendidikan kakak saya. Sehingga salah seorang kakak saya harus berhenti kuliah, toko kelontong yang menjadi tulang punggung keluarga mulai habis tanpa terisi lagi, karena kami sekeluarga sibuk merawat ayah. Sedikit demi sedikit harta keluarga dijual, mulai dari tanah, rumah, yacht, jet pribadi, limousine, villa dan peternakan kuda. Oke, saya becanda, yang jelas ibu saya musti bekerja serabutan dan kakak saya harus berhenti kuliah untuk memberi makan dan membiayai perawatan Ayah. Pernah satu hari kami hanya makan nasi dan garam, dan sering kali ibu saya tidak makan hanya supaya saya dan adik saya bisa makan. Dan beberapa kali tidak makan seharian. Saya sering kali menegur kenapa beliau tidak makan, dan beliau bilang sedang puasa. Jika saya ingat momen itu, saya selalu bersukur atas nikmat yang saat ini saya peroleh.

Suatu saat itu ibu saya memanggil saya dan mulai bicara, kira-kira intinya seperti ini. Kita pernah hidup cukup, berlimpah malah, cuman membuat kita lupa bersukur dan takabur. Ini ujian dari Allah, nah kamu sudah gede, belajar bertanggung jawab. Saya yang masih remaja tanggung yang masih dalam masa puncak puber harus menghadapi kerasnya kenyataan, ya tentu saja kelimpungan. Saat itu saya mulai membantu kakak saya berjualan minyak tanah, berdagang kerupuk, dan menjaga toko kelontong di rumah. Jarang sekali saya melihat ibu dan kakak saya mengeluh, mereka menjalani semua itu seperti sebuah tanggung jawab terhadap keluarga. Dan saya bersyukur kepada Allah karena memberikan sebuah keluarga yang mengajarkan tentang arti ikhlas tanpa harus berkata.

Kondisi keluarga saya sedikit demi sedikit berangsur pulih, salah satu kakak saya akhirnya lulus kuliah dengan IPK baik (semoga saya juga demikian), dan bekerja di salah satu perusahaan multinasional. Dengan suport darinya Alhamdullilah saya, adik saya dan ibu tak perlu lagi khawatir tentang makan dan biaya kesehatan Ayah. Kakak saya yang lain juga mulai menampakan hasil kerjanya. Saat itu saya sudah SMA dan tiap hari saya berjalan kaki ke sekolah dengan membawa dagangan kerupuk untuk dijual. Seringkali tanpa uang saku dan percayalah saat itu berat badan saya hanya 60an kilo! (bandingkan dengan saat ini yang ‘hanya’ 95kilo). Jujur saat itu saya ada sedikit rasa malu, jengkel dan marah. Malu, karena saat remaja lain bisa punya waktu untuk pacaran, saya musti bekerja dagang kerupuk lagi! Jengkel karena sedikit pun saya tak menikmati hasil uang kerja keras saya (yang pada suatu saat saya tau jika uang tersebut ditabung untuk membelikan saya motor), marah karena saya merasa Allah tidak adil dalam distribusi kesejahteraan.

Dan inilah saya saat ini dengan bobot mati 95 kilogram, tinggi tak lebih dari 165 cm, lingkar dada 32b, rambut kriting panjang tak terurus, semester 10, IPK tak lebih dari 3, dan kemampuan rata-rata lulusan perguran tinggi Indonesia. Sedang kebingungan memandang hidup, dengan pertanyaan besar. Habis ini mau kerja apa? Tapi setidaknya dalam hidup saya yang biasa saja ini banyak orang luarbiasa yang membentuk pribadi saya. Teringat sebuah puisi Wiji Tukul, Seperti tanah lempung Pinggir kampung, Masa laluku kuaduk – aduk, Kubikin bentuk – bentuk Patung peringatan. Ada keluarga yang memberikan saya arti bahwa hidup itu bukan seperti sapi, bekerja Cuma untuk makan dan tidur. Bekerjalah untuk sesuatu yang kau cintai dan sayangi, agar hidup tak Cuma jadi robot yang menjalankan perintah.
Dalam bekerja, ada tanggung jawab yang mesti dilakukan dan diamalkan. Bekerja dengan hati adalah sebuah jalan hidup. Maka saya tak lagi takut untuk cepat lulus dan bekerja. Saya tak munafik ingin kaya raya, punya status dan kedudukan. Seringkali dalam kehidupan masyarakat paskakolonial, segala pekerjaan diukur dari seberapa banyak harta yang kau punya dan seberapa penting posisimu dalam masyarakat. Bukan seberapa banyak hal bermanfaat yang sudah kau perbuat untuk masyarakat, atau seberapa bijak kau dalam mengatasi masalah. Tak percaya? Seberapa panjangkah antrian untuk menjadi amtenaar dibandingkan antrian menjadi pendamping anak jalanan? Atau seberapa banyak yang ingin ikut indonesian idol dibanding membuat penghijauan di lereng merapi?

Dalam hidup khususnya bekerja saya tidak ingin mengalami apa yang terjadi pada Sisyphus, manusia yang dikutuk dewa-dewa dalam mitologi yunani. Ia dikutuk untuk terus mendorong sebuah batu dari dasar bukit menuju puncak bukit hanya untuk kemudian jatuh lagi disisi lainnya. Aspice, officio fungeris sine spe honoris amplioris (Face it, you're stuck in a dead end job). Saya tak pernah mau begitu, dan semoga saya diberi jalan keberanian dan kemauan untuk tak hidup semacam itu.
Bekerja dengan penghasilan besar, berkdudukan tinggi dan sukses adalah cita-cita besar saya selain keliling Afrika dan menjelajah Mongol. Namun jika hal itu membuat saya teralienasi dan banal dalam menjalankan hidup. Saya memilih untuk jadi seorang yang gagal kaya, namun menikmati hidup seperti sebuah buku. Membacanya dari sebuah huruf, lalu kata, lalu kalimat, lalu paragraf, lalu sebuah bab dan akhirnya pada halaman akhir. Sebagai sebuah penutup ijinkan saya mengutip bait akhir puisi Riwayat yang dibuat Wiji Tukul.

Lihat !
Diriku makin blepotan
Dalam penciptaan

February 15, 2010

Sang Penjual Tempe (by Nikmatul Farida)


Di Karangayu, sebuah desa di Kendal, Jawa Tengah, hiduplah seorang ibu penjual tempe. Tak ada pekerjaan lain yang dapat dia lakukan sebagai penyambung hidup. Meski demikian, nyaris tak pernah lahir keluhan dari bibirnya. Ia jalani hidup dengan riang. “Jika tempe ini yang nanti mengantarku ke surga, kenapa aku harus menyesalinya…” demikian dia selalu memaknai hidupnya.

Suatu pagi, setelah salat subuh, dia pun berkemas. Mengambil keranjang bambu tempat tempe, dia berjalan ke dapur. Diambilnya tempe-tempe yang dia letakkan di atas meja panjang. Tapi, DEG! dadanya gemuruh. Tempe yang akan dia jual, ternyata belum jadi. Masih berupa kacang, sebagian berderai, belum disatukan ikatan-ikatan putih kapas dari peragian. Tempe itu masih harus menunggu satu hari lagi untuk jadi. Tubuhnya lemas. Dia bayangkan, hari ini pasti dia tidak akan mendapatkan uang, untuk makan, dan modal membeli kacang, yang akan dia olah kembali menjadi tempe.

Di tengah putus asa, terbersit harapan di dadanya. Dia tahu, jika meminta kepada Allah, pasti tak akan ada yang mustahil. Maka, di tengadahkan kepala, dia angkat tangan, dia baca doa. “Ya Allah, Engkau tahu kesulitanku. Aku tahu Engkau pasti menyayangi hamba-Mu yang hina ini. Bantulah aku ya Allah, jadikanlah kedelai ini menjadi tempe. Hanya kepada-Mu kuserahkan nasibku…”. Dalam hati, dia yakin, Allah akan mengabulkan doanya.

Dengan tenang, dia tekan dan mampatkan daun pembungkus tempe. Dia rasakan hangat yang menjalari daun itu. Proses peragian memang masih berlangsung. Dadanya gemuruh. Dan pelan, dia buka daun pembungkus tempe. Dan… dia kecewa. Tempe itu masih belum juga berubah. Kacangnya belum semua menyatu oleh kapas-kapas ragi putih. Tapi, dengan memaksa senyum, dia berdiri. Dia yakin, Allah pasti sedang “memproses” doanya. Dan tempe itu pasti akan jadi. Dia yakin, Allah tidak akan menyengsarakan hambanya yang setia beribadah seperti dia. Sambil meletakkan semua tempe setengah jadi itu ke dalam keranjang, dia berdoa lagi. “Ya Allah, aku tahu tak pernah ada yang mustahil bagi-Mu. Engkau maha tahu, bahwa tak ada yang bisa aku lakukan selain berjualan tempe. Karena itu ya Allah, jadikanlah. Bantulah aku, kabulkan doaku…”.

Sebelum mengunci pintu dan berjalan menuju pasar, dia buka lagi daun pembungkus tempe. Pasti telah jadi sekarang, batinnya. Dengan berdebar, dia intip dari daun itu, dan… belum jadi. Kacang itu belum sepenuhnya memutih. Tak ada perubahan apa pun atas ragian kacang tersebut. “Keajaiban Tuhan akan datang… pasti,” yakinnya.

Dia pun berjalan ke pasar. Di sepanjang perjalanan itu, dia yakin, “tangan” Tuhan tengah bekerja untuk mematangkan proses peragian atas tempe-tempenya. Berkali-kali dia memanjatkan doa… berkali-kali dia yakinkan diri, Allah pasti mengabulkan doanya.

Sampai di pasar, di tempat dia biasa berjualan, dia letakkan keranjang-keranjang itu. “Pasti sekarang telah jadi tempe!” batinnya. Dengan berdebar, dia buka daun pembungkus tempe itu, pelan-pelan. Dan… dia terlonjak. Tempe itu masih tak ada perubahan. Masih sama seperti ketika pertama kali dia buka di dapur tadi.

Kecewa, air mata menitiki keriput pipinya. Kenapa doaku tidak dikabulkan? Kenapa tempe ini tidak jadi? Kenapa Tuhan begitu tidak adil? Apakah Dia ingin aku menderita? Apa salahku? Demikian batinnya berkecamuk. Dengan lemas, dia gelar tempe-tempe setengah jadi itu di atas plastik yang telah dia sediakan. Tangannya lemas, tak ada keyakinan akan ada yang mau membeli tempenya itu. Dan dia tiba-tiba merasa lapar…merasa sendirian. Tuhan telah meninggalkan aku, batinnya. Airmatanya kian menitik. Terbayang esok dia tak dapat berjualan… esok dia pun tak akan dapat makan. Dilihatnya kesibukan pasar, orang yang lalu lalang, dan “teman-temannya” sesama penjual tempe di sisi kanan dagangannya yang mulai berkemas. Dianggukinya mereka yang pamit, karena tempenya telah laku. Kesedihannya mulai memuncak. Diingatnya, tak pernah dia mengalami kejadian ini. Tak pernah tempenya tak jadi. Tangisnya kian keras. Dia merasa cobaan itu terasa berat…

Di tengah kesedihan itu, sebuah tepukan menyinggahi pundaknya. Dia memalingkan wajah, seorang perempuan cantik, paro baya, tengah tersenyum, memandangnya.

“Maaf Ibu, apa ibu punya tempe yang setengah jadi? Capek saya sejak pagi mencari-cari di pasar ini, tak ada yang menjualnya. Ibu punya??”, Penjual tempe itu bengong. Terkesima. Tiba-tiba wajahnya pucat…tanpa menjawab pertanyaan si ibu cantik tadi, dia cepat menadahkan tangan. “Ya Allah, saat ini aku tidak ingin tempe itu jadi. Jangan engkau kabulkan doaku yang tadi. Biarkan sajalah tempe itu seperti tadi, jangan jadikan tempe…” Lalu segera dia mengambil tempenya. Tapi, setengah ragu, dia letakkan lagi. “jangan-jangan, sekarang sudah jadi tempe…”

“Bagaimana Bu? Apa ibu menjual tempe setengah jadi?” tanya perempuan itu lagi.

Kepanikan melandanya lagi. “Duh Gusti… bagaimana ini? Tolonglah ya Allah, jangan jadikan tempe ya?” ucapnya berkali-kali. Dan dengan gemetar, dia buka pelan-pelan daun pembungkus tempe itu. Dan apa yang dia lihat, teman??

Di balik daun yang hangat itu, dia lihat tempe yang masih sama. Belum jadi! “Alhamdulillah!” pekiknya, tanpa sadar. Segera dia angsurkan tempe itu kepada si pembeli.

Sembari membungkus, dia pun bertanya kepada si ibu cantik itu. “Kok Ibu aneh ya, mencari tempe kok yang belum jadi?”, “Oohh, bukan begitu, Bu. Anak saya, si Sulhanuddin, yang kuliah S2 di Australia ingin sekali makan tempe, asli buatan sini. Nah, agar bisa sampai sana belum busuk, saya pun mencari tempe yang belum jadi. Jadi, saat saya bawa besok, sampai sana masih layak dimakan. Ohh ya, jadi semuanya berapa, Bu?”

Teman, ini cerita yang biasa bukan? Dalam kehidupan sehari-hari, kita acap berdoa, dan “memaksakan” Allah memberikan apa yang menurut kita paling cocok untuk kita. Dan jika doa kita tidak dikabulkan, kita merasa diabaikan, merasa kecewa. padahal, Allah paling tahu apa yang paling cocok untuk kita. Bahwa semua rencananya adalah SEMPURNA.

January 31, 2010

Lilin Untuk Ibu dan Perempuan



Sebuah catatan hati seorang rocker


Aku selalu merayakannya dengan sekerlip lilin di tengah kebun belakang setiap tahunnya. Tanpa lampu. Penggambaran kasih bahwa Ibu yang tampak demikian kecilnya, namun sangat berarti dalam kegelapan yang tiada pernah bosan bergelung dalam hari. Ibu bagiku bukan hanya matahari yang mampu membuyarkan dinginnya pagi, namun juga hujan yang mampu merobek dahaganya siang hari.

Menjadi perempuan di belahan dunia ini memang sulit. Mereka selalu menjadi warga negara kelas dua. Mereka harus selalu menerima, tidak bisa memilih. Saat laki-laki punya hak penuh menikah di usia berapapun, maka perempuan terbatasi hingga usia 30, di luar 30 maka ia akan mendapat stempel di dahinya sebagai perempuan tidak laku atau perawan tua. Teringat saat aku menonton salah satu acara di televisi, Take Him Out, secantik apapun perempuan2 yang muncul, jika usianya kepala 3, maka laki2 yang usianya jauh beda akan mundur. Inilah fenomena. Dan perlu diketahui ini bukan hanya ada di acara di televisi, tetapi ia adalah refleksi dari dunia nyata. Sementara, laki-laki bisa saja menikahi perempuan yang usianya jauh lebih muda. Dan keputusan itu, dimahfumi oleh masyarakat.

Jatuh cinta pada suami orang, maka istilah yang cocok adalah perebut suami orang. Padahal, kita sama-sama tahu bahwa jumlah perempuan lebih banyak dibandingkan laki2, dan perempuan yang lebih muda lebih disukai dibandingkan perempuan yang lebih tua. Dengan stigma laki2 yang lebih tua lebih baik, maka perempuan cenderung lebih membuka hati pada laki2 yang lebih tua, walaupun laki2 itu sudah beristri. Siapakah yang salah kalau begitu?

Lilin itu juga aku nyalakan bagi perempuan2 yang diceraikan dan minta cerai dari suami2 mereka. Perceraian. Kata sakti yang mampu menjadi momok bagi perempuan. Lebih baik dimadu dibandingkan menjadi janda. Demi mempertahankan rumah tangga mereka rela melakukan apa saja. Walaupun perih, sakit, dan terluka. Sebab yang dipertaruhkan bukan hanya status. Tapi dosa seumur hidup dan karma bagi anak-anaknya. Saat perempuan diceraikan, yang selalu salah adalah perempuan. Tidak bisa menjaga diri, menjaga suami, kurang bisa melayani, kurang cerdas, coba dandan supaya suami betah di rumah.. Bukankah komitmen adalah milik kedua belah pihak? Bukankah cinta bisa tumbuh namun bisa pula layu?

Lilin ditanganku tinggal setengah. Aku berusaha menahannya agar tidak kebas oleh air mata. Air mata bagi perempuan2 yang menjadi korban pelecehan, kekerasan, dan ketidakadilan. Air mata untuk menangisi norma yang cenderung memihak laki-laki.

Lilin ini, aku peruntukkan untuk Ibuku, yang dengan hujan air mata membesarkan aku di sini, di tanah ini, yang panasnya mampu membakar pigmen kulit perempuan hingga menghitam. Padahal cantik itu adalah yang berkulit langsat.

Dan air mata inipun adalah untuk Ibu..

Selamat Ulang Tahun Ibu .. Dengan embun yang menderas kupadamkan lilin itu.. Gelap..

... Dan aku menanti nasibku di dalam gelap ...


Written by:
Rizky Helmy

Catatan blog owner:
The writer is not a kind of melodramatic person, even I can say that he is a metal rocker typical boy. The one who cannot follow the rule, but when someday I wrote something about mother, he replied by writing about her mother too..
And here it is.. A heart-saying words from a young man who is truly deeply loving his mother..

January 26, 2010

Pembantu : Saya Juga Manusia, Tuan!



Adakah di dunia ini, mereka yang bercita-cita menjadi pembantu? Mengabdikan diri pada keluarga yang lain. Menjadi wanita, ibu, istri yang membagi waktunya dan tenaganya dengan ibu dan istri orang lain? Bangun pagi-pagi buta, menyelesaikan pekerjaan di rumahnya, agar anak suaminya tak sampai kelaparan, lalu tergesa-gesa berangkat ke rumah satunya, agar keluarga itu terbantu.

Adakah yang mau, menjadi makhluk inferior dengan statusnya sebagai “pembantu” yang menempati kasta paling bawah dalam masyarakat? Dan mereka, para majikan itu, menyebut diri mereka superior, penguasa atas pembantu mereka. Mereka dengan seenak hatinya menyuruh ini itu pada sang pembantu. Seharian penuh dari pagi hingga sore mereka membantu, dan dengan upah hanya sepuluh ribu. Sangat jauh dengan anda yang bekerja sebagai guru privat, yang hanya dalam satu jam saja sudah mengantongi lebih dari 20ribu. Mereka melarang anak-anak mereka melakukan pekerjaan rumah, sembari berkata , “Biar dikerjakan sama pembantu!”.

Dan ketika, si pembantu melakukan kesalahan, betapa omelan dan cacian mencerca dari si majikan. Dan ketika si pembantu tidak bias bekerja karena suaminya sakit, anaknya sakit, saudaranya meninggal, tidak hanya potongan gaji yang diterima, tapi juga – lagi lagi cacian.

Jika anda bermaksud menjadikan mereka professional dengan cacian anda, apakah anda sendiri sudah professional dengan memberi upah 10ribu sehari?

JIka anda merasa anda mempunyai hak atas pembantu anda, apakah anda juga menghormati haknya untuk dihargai dan dihormati?

JIka anda merasa superior terhadapnya, bukankah sebenarnya anda adalah makhluk inferior yang tidak bisa cukup tanpa bantuannya? Dan bukankah mereka yang membantu lebih terhormat dari mereka yang butuh bantuan.

JIka anda merasa uang sepuluh ribu itu anda bisa membeli hak-haknya dan harga dirinya, maka siapakah yang lebih terhormat?

Lupakah anda, para majikan?
Anda membutuhkan adanya pembantu untuk “membantu”. Karena anda sendiri terlalu sibuk dengan ini itu. Karena anda sendiri tak cukup kuat dan tak cukup waktu untuk mengerjakan semua sekali waktu.

Lupakah anda?

Bahwa hakikatnya adanya pembantu adalah untuk “menyokong” keluarga anda. Tapi apa yang terjadi? Anda justru “melemahkan” diri anda sendiri dengan menyerahkan segala sesuatu pada pembantu. Sedikit-sedikit pembantu, sedikit-sedikit pembantu. Anda bahkan “melemahkan” anak-anak anda dengan menyuruh mereka untuk menyuruh pembantu untuk membantu keperluan mereka.

Tidak inginkah anda?

Dengan adanya pembantu, anda belajar untuk lebih mandiri. Anda terbiasa untuk melakukannya sendiri. Anda bisa menyadari pekerjaan mana saja yang tidak bisa anda kerjakan sendiri, dan saatnya mengerahkan anak-anak anda untuk ikut membantu, hingga akhirnya pembantu tidak diperlukan lagi, dan keluarga anda menjadi keluarga terhormat karena tidak lagi membutuhkan “bantuan”?

Camkanlah, bahwa pembantu juga manusia. Punya rasa punya hati. Mereka diam, mereka bertahan, karena mereka mempunyai anak-anak, orang tua, atau bahkan suami di belakang mereka yang harus mereka hidupi. Memotong gaji mereka adalah jauh lebih baik dari menyakiti hak-haknya untuk dihargai. Pembantu adalah manusia, mereka juga istri, ibu, menantu, cucu, sama seperti anda. Dan upah yang anda berikan tidak bisa membeli peran mereka sebagai istri, ibu, menantu dan cucu.

Ingatlah, bahwa UANG tidak bisa membeli SEGALANYA.

Dedicated to all maids in the world. I put a high respect for you all.

January 15, 2010

Lelah



Biarlah aku merebah dalam lelah
Bukan berarti aku menyerah pasrah
Aku terbang sendiri hingga terengah-engah
Biarkan aku berkeluh kesah

Aku janji hanya hari ini
Esok aku akan terbang lagi
Akan sudah lupa semua letih
Karena aku tahan pedih

Biarkan aku pejamkan mata
Sejam dua jam lalu terjaga
Lalu aku aku akan ke sana
Berbagi kisah berbagi tawa

Aku mohon kau jangan murka
Karena aku menikmatinya
Berlari pada apa yang ku suka
Nanti akan ku perlihatkan hasilnya.

January 12, 2010

Skripsi dan Tetek Bengeknya



Sampailah saya pada satu fase akhir dalam perjalanan kehidupan saya sebagai mahasiswa. Kesejatian saya sebagai mahasiswa FKIP dan kelayakan saya sebagai calon guru Bahasa Inggris dipertaruhkan saat ini. Sampailah saya pada kawan saya yang bernama SKRIPSI.

Hmm,,berat nian kedengarannya kawan saya yang satu ini. Dia sangat eksklusif, tak sembarang terjamah. Dia angkuh, tak mudah ditemukan. Dia rumit, tak mudah dipecahkan. Dia panjang, tak mudah disederhanakan. Dia agung, maka itu perlu usaha keras, mental kuat, kesabaran yang ekstra besar, dan ketlatenan dalam kenjlimetan..

Idealisasi saja tidak berlaku di sini. Bagi SKRIPSI, hal terrumit adalah birokrasi. Maka rutinitas saya adalah mengantri. Mengantri untuk konsultasi. Mengantri untuk revisi. Mengantri untuk di acc. Mengantri untuk mendapat surat A B C.

Menunggu dengan harap-harap cemas kedatangan dosen pembimbing. Bercengkrama dengan mahasiswa lain yang akan kosultasi juga, layaknya ruang antri di depan praktek dokter. melihat wajah cemas dan tegang adalah rutinitas baru saya saat ini. Mendapati kritikan pedas, sindiran halus, dan cacian adalah makanan saya.
Tapi saya semakin penasaran dengan kawan saya yang bernama SKRIPSI ini.

Saya sedang berada di permulaan perkenalan dengan kawan saya itu, dan di tengah-tengah proses berpikir dan mencari saya. Dan sampai sejauh ini, kawan saya itu mengajari banyak hal: Kesabaran, Lapang Dada, Ketekunan, mau menerima masukan dan kritikan, introspeksi, realistis, ketlatenan, dan keuletan.

Dan besok,,kawan saya akan mengajari saya lebih banyak hal lagi..

January 3, 2010

You are what you are doing




"Anda adalah apa yang anda lakukan berulang-ulang". Hal-hal yang kita lakukan berkali-kali akan menjadi kebiasaan. Dan kebiasaan yang terus-menerus dilakukan akan menjadi kepribadian, dan mungkin: pencitraan. Jangan menyalahkan orang lain yang sering bilang kalau kita jutek kalau kita memang tidak membiasakan diri untuk menjadi seramah mungkin. Jangan menyangkal peryataan orang lain yang 'mengecap' kita malas (walaupaun kita yakin kita bukan orang yang malas)kalau kita memang tidak membiasakan diri untuk melakukan hal-hal yang biasa dilakukan orang-orang rajin. Dan jangan menyalahkan cermin yang memantulkan bayangan yang buruk ketika anda tidak membiasakan diri dengan kebiasaan untuk membuat bayangan anda menjadi cantik.

Ini bukan tentang approval dari orang lain. Ini bukan tentang 'terserah apa kata orang, yang tau aslinya aku ya cuma aku'. Itu benar. Tapi itu tidak baik. Mengapa tidak baik? Karena anda terlalu pelit untuk berbagi value dengan orang lain. Pernahkah anda membayangkan, saat anda melakukan kebiasaan baik, anda sedang mengirimkan energi positif bagi orang sekeliling anda?


Ini tentang pentingya sebuah kebiasaan, dalam konteks konstruktivisme, yang pada sederhananya menekankan bahwa: 'semua orang bisa menjadi apapun dan bagaimanapun, terlepas dari bakat dan bawaan mereka.' Innaamal a'malu binniyaat. Segala perbuatan berawal dari niatnya. Dengan niat yang keras, usaha yang keras, dan penyerahan diri pada Tuhan yang keras, mungkin tidak ada yang tidak bisa kita capai dalam kehidupan ini.

Pernah terpikir oleh saya: Saya tidak mungkin bisa mengajar anak-anak karena saya tidak suka dan tidak bisa mengurus anak-anak dan menghiburnya. Hingga ada suatu keadaan dimana saya harus melakukannya. Bismillah, dengan tekad kuat dan dengan tekun searching di web tentang anak-anak..ngajar saya sukses.
Sayapun melakukan hal yang serupa pada kebiasaan-kebiasaan buruk saya atau perangai-perangai buruk saya. Misal: saya biasa bangun siang, saya tidak bisa berbagi, saya moody, saya tempramental, dll. Dan sedikit demi sedikit hal itu bisa teratasi.

Mungkin kita berpikir bahwa watak tidak mungkin dirubah. Ya, tentu saja. Tapi perlakuan kita pada watak kitalah yang bisa kita kelola. Kalau kita orang yang pemarah, mungkin kita bisa menyingkir sejenak untuk menarik napas lega tanpa meluapkan kekesalan pada orang lain. Kalau kita orang pemalas, kita bisa memanipulasinya dengan membuat planning-planning berbeda tiap hari sehingga kita merasa tertantang menjalaninya.

Sekali lagi, kebiasaan bisa membentuk karakter. Refleksikan, apakah bayangan yang selama ini kita tampakkan adalah bayangan asli yang ingin kita bagikan?
So, dari sekarang, tanamkan kebiasaan-kebiasaan baik yang berguna bagi kita dan orang lain.

Selamat membuat kebiasaan baik :)

January 2, 2010

Mari Merenung dengan Benar :)



Setelah sekian lama saya sering mewawancarai diri saya sendiri (self-interview) tentang begitu banyak hal yang *menurut saya sangat esensial untuk saya cari tahu jawabannya*. Pertanyaan-pertanyaan yang kita semua sering tertantang untuk menjawabnya, misal: tentang hakikat hidup, aturan-aturan, norma-norma, mimpi, obsesi, ambisi, dan lain sebagainya yang sering memunculkan pertanyaan seperti ini:
Mengapa saya harus begini?
Mengapa begitu tidak boleh?
Mengapa pemikiran saya tidak diterima?
Mengapa pemikiran saya tidak sama dengan aturan yang sudah ada?

Dalam lama itu pula saya sering berkutat pada perang pemikiran-pemikiran saya sendiri.

Saya sadar bahwa peperangan pemikiran itu bagaikan pisau bermata dua: jika saya berhasil mendapatkan jawabannya, maka saya akan menjadi pribadi yang lebih mantap dalam keyakinan dan kepercayaan saya. Jika akhirnya setelah sekian lama bergolak dengan pemikiran saja namun tidak juga menelurkan jawaban, waktu yang sedemikian berharga menjadi sangat sia-sia.

Proses berpikir itu sendiri adalah fardu bagi setiap manusia. Bahkan Descartes berujar “Aku berpikir maka aku ada.” Pertanyaannya adalah: Pos-pos dalam kehidupan yang mana yang harus kita pikirkan dalam-dalam? Pos-pos kehidupan mana yang tak perlu kita pikirkan, tinggal ikuti saja (yang dalam istilah Islam disebut sami’na wa ato’na)?

Dalam kesempatan lain saya juga mempertanyakan: Jika waktu yang sedemikian lama itu saya fokuskan untuk memikirkan tentang satu pertanyaan saya, apakah dalam waktu yang sama saya lebih produktifnya dari pemikiran yang saya pertanyakan itu?
Di sisi lain, kita mempunyai sebegitu banyak tuntutan atau tanggung jawab yang secara kontinyu harus kita penuhi, baik sebagai individu, hamba Tuhan, anak, teman, keluarga, anggota masyarakat, komunitas, organisasi, atau satuan komuniti yang lain yang tidak bisa menunggu kita untuk berpikir saja.

Dalam hal ini saya tidak mendiskreditkan proses berpikir, merenung, atau kontemplasi. Namun mungkin akan lebih menempatkannya dalam porsi waktu yang premium, saat yang tepat untuk kontemplasi di antara keharusan-keharusan duniawi dan ukhrawi yang saya harus jalani.
Kutipan berikut mungkin tepat sekali untuk hal ini:

“Bertanyalah, lalu bebaskanlah dirimu dari pikiran-pikiran mengenai yang tidak mungkin,
dan dari perasaan-perasaan yang mengerdilkan hak-mu untuk berhasil.”

Kita semua memiliki hak untuk bertanya dan merenungkannya. Namun pada saat yang bersamaan, kita tidak boleh meniadakan kemungkinan-kemungkinan lain dimana mungkin kita berpikir bahwa pertanyaan itu mungkin tidak terpecahkan, atau fakta yang kita pecahkan tak mungkin terkompromi, dll.

“Bertanyalah, lalu sahabatkanlah dirimu dalam pergaulan orang-orang baik
yang ikhlas berbagi pengertian baik.”

tahap ke dua adalah berkumpul atau bergaul dengan orang yang bisa memberi efek baik bagi pemikiran kita. Yang bisa memberikan penyelesaian, bukan yang menambah lebih banyak pertanyaan-pertanyaan yang semakin membingungkan. Atau orang-orang yang sudah melampaui fase “merenung” dan sudah berhasil melewatinya, yang bisa menyarankan kebaikan bagi kita.

“Bertanyalah, lalu libatkan dirimu dalam kesibukan pekerjaan yang membaikkan
kehidupan orang lain.”

Ini dia yang paling krusial. Don’t just ask, but do! Jangan hanya bergumul pada pertanyaan-pertanyaan kita, tapi lakukan hal riil untuk menemukannya. Jika kita mahasiswa, jangan sampai gadhl bashr (perang pemikiran ) itu membuat kita enggan menyelesaikan tugas, enggan menggarap skripsi, atau enggan membantu orang lain, dll.


"Bertanyalah, lalu jadikanlah kehidupanmu sebagai doamu,
lalu perhatikan apa yang terjadi."

Ajian pamungkas adalah berdoa. Kenapa berdoa? Agar pemikiran-pemikiran kita melahirkan sesuatu yang bermanfaat bagi kita sendiri, orang lain, dan masyarakat. Berapa banyak dari kita yang akhirnya berpikir saja yang berakhir hanya ‘membatin’ namun kontraproduktif dalam penunaian tugas-tugas kehidupannya??

Let’s think and contemplate together. 

Inspired by: MTGW note.

Masker Oksigen

photo from: Reader's Digest Akhir-akhir ini, saya terlibat pembicaraan yang lumayan mendalam dengan sahabat karib saya terkait deng...