January 31, 2010

Lilin Untuk Ibu dan Perempuan



Sebuah catatan hati seorang rocker


Aku selalu merayakannya dengan sekerlip lilin di tengah kebun belakang setiap tahunnya. Tanpa lampu. Penggambaran kasih bahwa Ibu yang tampak demikian kecilnya, namun sangat berarti dalam kegelapan yang tiada pernah bosan bergelung dalam hari. Ibu bagiku bukan hanya matahari yang mampu membuyarkan dinginnya pagi, namun juga hujan yang mampu merobek dahaganya siang hari.

Menjadi perempuan di belahan dunia ini memang sulit. Mereka selalu menjadi warga negara kelas dua. Mereka harus selalu menerima, tidak bisa memilih. Saat laki-laki punya hak penuh menikah di usia berapapun, maka perempuan terbatasi hingga usia 30, di luar 30 maka ia akan mendapat stempel di dahinya sebagai perempuan tidak laku atau perawan tua. Teringat saat aku menonton salah satu acara di televisi, Take Him Out, secantik apapun perempuan2 yang muncul, jika usianya kepala 3, maka laki2 yang usianya jauh beda akan mundur. Inilah fenomena. Dan perlu diketahui ini bukan hanya ada di acara di televisi, tetapi ia adalah refleksi dari dunia nyata. Sementara, laki-laki bisa saja menikahi perempuan yang usianya jauh lebih muda. Dan keputusan itu, dimahfumi oleh masyarakat.

Jatuh cinta pada suami orang, maka istilah yang cocok adalah perebut suami orang. Padahal, kita sama-sama tahu bahwa jumlah perempuan lebih banyak dibandingkan laki2, dan perempuan yang lebih muda lebih disukai dibandingkan perempuan yang lebih tua. Dengan stigma laki2 yang lebih tua lebih baik, maka perempuan cenderung lebih membuka hati pada laki2 yang lebih tua, walaupun laki2 itu sudah beristri. Siapakah yang salah kalau begitu?

Lilin itu juga aku nyalakan bagi perempuan2 yang diceraikan dan minta cerai dari suami2 mereka. Perceraian. Kata sakti yang mampu menjadi momok bagi perempuan. Lebih baik dimadu dibandingkan menjadi janda. Demi mempertahankan rumah tangga mereka rela melakukan apa saja. Walaupun perih, sakit, dan terluka. Sebab yang dipertaruhkan bukan hanya status. Tapi dosa seumur hidup dan karma bagi anak-anaknya. Saat perempuan diceraikan, yang selalu salah adalah perempuan. Tidak bisa menjaga diri, menjaga suami, kurang bisa melayani, kurang cerdas, coba dandan supaya suami betah di rumah.. Bukankah komitmen adalah milik kedua belah pihak? Bukankah cinta bisa tumbuh namun bisa pula layu?

Lilin ditanganku tinggal setengah. Aku berusaha menahannya agar tidak kebas oleh air mata. Air mata bagi perempuan2 yang menjadi korban pelecehan, kekerasan, dan ketidakadilan. Air mata untuk menangisi norma yang cenderung memihak laki-laki.

Lilin ini, aku peruntukkan untuk Ibuku, yang dengan hujan air mata membesarkan aku di sini, di tanah ini, yang panasnya mampu membakar pigmen kulit perempuan hingga menghitam. Padahal cantik itu adalah yang berkulit langsat.

Dan air mata inipun adalah untuk Ibu..

Selamat Ulang Tahun Ibu .. Dengan embun yang menderas kupadamkan lilin itu.. Gelap..

... Dan aku menanti nasibku di dalam gelap ...


Written by:
Rizky Helmy

Catatan blog owner:
The writer is not a kind of melodramatic person, even I can say that he is a metal rocker typical boy. The one who cannot follow the rule, but when someday I wrote something about mother, he replied by writing about her mother too..
And here it is.. A heart-saying words from a young man who is truly deeply loving his mother..

No comments:

Post a Comment

Masker Oksigen

photo from: Reader's Digest Akhir-akhir ini, saya terlibat pembicaraan yang lumayan mendalam dengan sahabat karib saya terkait deng...