May 15, 2011

GURU


Dulu aku benci padamu dulu aku memang benci..

Aku benci saat pertama kita bertemu, guru. Aku terkantuk-kantuk di deret terdepan dan kau mengeksekusiku dengan sebuah usiran indah. "Silvia! Sleep at your home, not in my class!" Kau bahkan tidak mengindahkan pledoi ku yang menjelaskan bahwa aku menderita insomnia, dan aku sangat ingin mengikuti kelasmu, guru. Kau bahkan tidak menghargai jerih payahku untuk datang ke kelasmu, karena aku ingin tahu, meski kantuk setiap hari menyerangku. Kau tidak mengindahkan semangatku, yang selalu duduk di deret depan sendirian, karena kawan yang lain lebih memilih di deret belakang, agar tak terlihat meski mereka tertidur dengan suaramu yang mendayu. Aku benci saat aku akhirnya menuruti perintahmu, dan pulang ke tempat kos dengan menangis.


Kau terlalu kaku, guru. Kau bahkan menghukum seluruh kelas yang berisi 43 mahasiswa dari 3 angkatan, hanya karena satu pertanyaan polosku "Is all homonym belong to polysemy?" Dan akhirnya aku berakhir di ruanganmu dengan debat kusir kita, dan kau mengaku kalah.

Tidak ada satu mahasiswa pun yang memfavoritkanmu, guru. Tapi aku selalu mengagumimu. Sayang, kau hanya melihatku dari sisi jahilku. Kau mempermasalahkan celana pensilku, kau mengkritik suaraku yang telalu lantang, kau bilang aku tidak sopan, kau bilang aku harus belajar behave. Dan aku tidak pernah menyerah, guru.


Setahun kemudian, kau terperanjat melihatku dengan penampakan baruku. Jangan ge-er guru, aku tidak melakukannya untukmu. Aku hanya sedang tumbuh dan belajar menjadi dewasa. Aku hanya mengikuti agama. Kau, dengan gaya sinismu berujar "You look better that way. I hope the other girls will follow the way you dress."


Lalu aku nekat memintamu menjadi pembimbing skripsiku, meski bagi mahasiswa lain, kau adalah pilihan terakhir mereka. Mereka bilang kau killer, kau pedas, kau sinis, terlalu lama, dan terlalu detail. Tapi aku tak peduli, aku hanya butuh ilmumu.


Meski pertama-tama kau 'memuji' tulisanku "Don't write a thesis as if you write a disertation. Nulis yang biasa aja, jangan muluk-muluk." Lalu kau mencoret hampir satu halaman dari tulisanku karena beberapa kesalahan grammatikal tanpa ampun bahwa menulis skripsi dalam bahasa Inggris adalah kutukan?


**
Begitulah awal pergulatan akademis saya dengan sang guru. Meskipun penuh dengan ke "mrongkol"an hati saya, pada akhirnya justru saya belajar banyak hal dari sang guru. We learn from everything, and sometimes unpleasant experiences taught us more, isn't it? Kadang pengalaman yang dulu sekali saya rasa kurang menyenangkan, justru mengajarkan banyak hal berharga, yang, mungkin, kalau saya tidak mengalaminya, saya tidak akan bisa seperti kini.
Hubungan akademis kami membaik ketika sang guru menjadi pembimbing skripsi saya. Guru S yang sangat agamis ini, somehow, membuat saya sedikit filosofis. Perdebatan masih sering terjadi, sampai saya harus membuat mahasiswa bimbingan beliau menunggu 2 jam untuk satu sesi konsultasi skripsi saya. Dan sang guru dengan sangat sabar, membaca satu per satu kata, mengoreksi ejaan, mengoreksi diksi, kata penghubung, dan bahkan tanda baca.
Pelajaran moral kedua: jangan maju bimbingan sebelum edit puluhan kali tulisan anda!
Ternyata kami punya kesamaan subject of interest. Beliau pernah meneliti satu bagian dari penelitian saya sewaktu beliau kuliah di Aussie. Dan, begitu menyenangkannya tatkala kami berdiskusi tentang pokok bahasan itu. We are like old friends. Dan sampai skripsi saya rampung, sang guru masih sangat antusias untuk mengajak diskusi.
Dari bisik-bisik mahasiswa bimbingan beliau yang lain, beliau kini menjadi lebih "cair" dalam membimbing mahasiswanya. Dan, banyak yang beralih ke beliau karena koreksinya yang sangat teliti dan komprehensif.
Pesan beliau terakhir sebelum saya lulus adalah:
"You shouldn't stop at this point, you have to continue your research in your next study. I believe you can make it."
**

Hampir setahun setelah saya tidak bertemu dengan sang guru, lalu tiba-tiba saya begitu merindukannya, academically. Beliau sering mempertanyakan tulisan saya, dan, meski diawalnya beliau tidak yakin akan reliabilitasnya (lagi-lagi, karena dulunya saya dianggap slenge'an), tapi pada akhirnya beliau memahami ide saya.


Guru juga selalu mengajarkan saya, untuk selalu berdoa, sholat malam, dan puasa sunnah. Agar ilmu itu lebih mudah masuk. Beliau menggambarkan, iman itu ibarat cahaya. Ilmu tanpa iman bagaikan berjalan tanpa cahaya, kita tidak tau kemana arah dan manfaatnya. Sedangkan ilmu dengan iman, bagaikan berjalan dengan cahaya. Jelas arah dan manfaatnya.

**

Dan kini, saya kembali angkat pena untuk riset. Ekstensi dari riset skripsi saya. Segala pengalaman yang dulunya tidak mengenakkan, sirna begitu saja tatkala saya sadar, dibalik itu semua, guru mengajarkan lebih banyak hal. Lebih dari bimbingan skripsi saya. Lebih dari nilai saya. Namun lebih pada nilai saya, sebagai manusia. Untuk menjadi manusia yang santun, on time, rendah hati, teliti, akademis, dan agamis.

Guru, salam hormat untukmu.

PROPOSAL


Proposal.jpg


Sewujud proposal terbentuk dalam setiap kepala, tujuan hidup yang terrapal dalam doa yang menjelma dalam setiap usaha. Sebuah proposal yang berisi rencana, lengkap dengan latar belakang, tujuan, manfaat, metodologi, rincian dana, rincian waktu, strategi, hingga rincian kontribusi, tersusun rapi dalam seberkas mimpi.


Satu proposal itu sudah dengan matang dipersiapkan, dipikirkan, dan diajukan pada Tuhan. Dan dengan keyakinan bahwa Tuhan menjawab "approved", eksekusi usahapun dilancarkan. Satu persatu batu bata mimpi pun disusun sebentuk bangunan.


Yakinlah di antara begitu banyak bangunan, engkau adalah puncak mercusuar. Meski engkau tahu, kau hanya sedang berdiri di separuh atap bangunan yang tak kunjung rampung. Bangunanmu urung sempurna, baru bisa disebut kerangka.


Saat gempa dan bencana bisa kapanpun menghancurkan bangunmu, menyerakkan batu-batu mimpimu ke tanah, tetaplah tegak dengan proposal barumu, rencanamu yang lebih matang, rencana bangunan yang lebih tahan goncang.


Dan ingatlah Tuhan punya banyak stempel untuk tiap proposal, ada "suspended" (tunda), "replaced" (ganti), "remake" (koreksi ulang proposalmu), "declined" (ditolak) atau paling indah "approved" (dikabulkan). Timeline Dia pun Maha Sempurna, tak perlu kau merasa merana.


Satu proposal ditolak, proposal lain akan bertindak.

May 11, 2011

Tembang Tanpa Gamelan (sebuah geguritan Jawa)


kangen
~
Dalu san saya asrep
Nalikaning penggalih sepen sanget
Mbok bilih katon sawijining pasuryan
Swanten ndangu ing sajroning talingan.
~
Panjenengan punapa kesupen,
Dandang Gula ingkang kula nembang,
Sesarengan ngandhapipun jawah,
Nalikaning mendhung kebak tantun.
~
Raka, sampun semana ugi,
Ngendikanipun rumiyin sami
Menopo sak menika dados benten,
Domadon damel waspa lepen.
~
Kula pun kepingin cecaketan,
Punagi Raka kang mekanthar-kanthar,
Pajar andining penggalih,
Kang kantun dumadon sepalih.
~
Ingkang pundhi papan Raka,
Tanpa pawarta Raka lelana,
Kados ringgit tanpa dalang,
Kados gamelan tanpa tembang.
~
Raka, pinangga peparing wados,
Wantun cedhak kadasta rumaos,
Dangu kula njemparing naros,
Dangu kula njemparing pitados.
~
Duh Raka, kangen menika sanajan mindhak,
Nyameni surya ing madya siyang,
Monggo caket tindhak kundur,
Pundhut nyupena kita pendhem dhuwur.
~
(Banda Aceh, Sewelas Mei Rongewu Sewelas)

May 2, 2011

Hardiknas dan Pendidikan Karakter


“Tema Hardiknas kita Pendidikan Karakter Sebagai Pilar Kebangkitan Bangsa dengan sub tema Raih Prestasi Junjung Tinggi Budi Pekerti,” ungkap Sekjen Kemendiknas Dodi Nandika dalam jumpa pers di Kantor Kemendiknas Jakarta, Jumat (29/4/2011).
Pendidikan Budi Pekerti menjadi tema yang diusung Kemdiknas tahun ini. Aplikasinya, kurikulum akan diperpadat dengan mata pelajaran budi pekerti/ pendidikan karakter. Seberapa praktikalnya gagasan ini?
Definisi Pendidikan Karakter
Meskipun saya setuju dengan tujuan mulia pemerintah untuk memperbaiki karakter generasi penerus bangsa, namun saya rasa pemerintah melalui Kemdiknas perlu memberikan definisi yang jelas dan praktikal mengenai pendidikan karakter, mengingat materi yang diajarkan merupakan benda abstrak. Berbeda dengan mata pelajaran lain yang mempunyai kriteria penilaian yang jelas, pendidikan karakter ini harus bisa didefinisikan sedetail mungkin. Jika tidak, pendidikan karakter hanya akan menjadi mata pelajaran sampingan yang tidak memberikan signifikansi berarti bagi peserta didik.
Aspek karakter yang mana yang akan dinilai, dan bagaimana menilainya?
Karakter merupakan akumulasi atawa produk yang terintegral dari didikan rumah/orang tua, pergaulan dengan kawan sebaya di lingkungan tetangga, kondisi sosial ekonomi lingkungan sekitarnya (rumah, sekolah, tempat les, tempat mengaji, dll), dan faktor-faktor psikologis lainnya, seperti: status sosial, kecerdasan emosi/ spiritual, usia, dll.
Sekolah adalah satu dari sekian banyak faktor penentu karakter siswa. Dan ketika sekolah menjadi “institusi penilai” karakter ini, maka pertanyaan yang timbul adalah: aspek karakter yang mana yang akan dinilai dan diajarkan?
Apakah siswa yang diam dan sopan ketika mata pelajaran Budi Pekerti (namun di luar jam pelajaran tersebut dia ndugal) akan mendapat nilai bagus, dan siswa yang secara fisik terlihat sangat ugal-ugalan (karena faktor keluarga yang broken home, misalnya) akan mendapat nilai jelek?
Ataukah nilai akan diambil dari ujian tulis (baik berupa hafalan, maupun ujian essay)? Seberapa representatif nilai ini menggambarkan baik/buruknya karakter peserta didik? Apakah siswa yang essaynya baik bisa dianggap berkarakter baik pula?
Jika karakter dinilai dari sikap keseharian siswa selama di sekolah, maka siapa dan bagaimanakah sistematika penilaian ini? Akankah ada guru yang diam-diam menjadi “petugas penilai karakter” ? Seperti apakah raportnya nanti?
Tambah mata Pelajaran: Tambah Beban Siswa
Dengan kurikulum KTSP saat ini, siswa SD-SMA di Indonesia memiliki beban rata-rata jam belajarnya 6 jam perhari di sekolah. Beberapa sekolah bahkan menambahkan jam pelajaran atau memangkas beberapa mata pelajaran muatan lokal untuk bisa disisipi TIK, Bahasa Mandarin, Bahasa Arab, Teknologi Informasi dan Komunikasi, dan sebagainya.
Menambah satu mata pelajaran lagi, berarti menambah beban jam pelajaran, dan menambah beban siswa. Terlebih lagi, menambah beban guru wali kelas untuk menulis raport siswa. (FYI, raport sekarang terdiri dari 2-3 halaman A4, berisi nilai dan definisi nilainya, ditulis tangan, satu persatu)
Pendidikan Karakter dalam Mata Pelajaran lain
Menurut hemat saya, alih alih menambah mata pelajaran baru, lebih baik menginklusi pendidikan karakter dalam mata pelajaran lain. Misalnya, Bahasa Indonesia (melalui cerita-cerita/ dongeng-dongeng yang ada dalam materi pelajaran), Agama (melalui kisah-kisah teladan, tamsil, riwayat, fikih, dsb.), Bahasa Inggris (metode konklusi di setiap sesi, yaitu dengan meminta siswa menarik pelajaran moral yang mereka dapatkan setelah sesi pelajaran Bahasa Inggris usai), dan PPKn/ PMP (melalui kisah nyata dan studi kasus). Selain dalam pelajaran, Pendidikan karakter juga bisa diinklusikan ke dalam kegiatan ekstra kurikuler, misalnya: Pramuka dan Palang Merah Remaja.
Pembentukan Karakter melalui Teladan dan Pengkondisian
Pendidikan karakter bukanlah semata-mata mengenai pengetahuan, namun tentang kepribadian yang tecerminkan dalam perilaku sehari-hari. Pembangunan karakter (character building) merupakan tugas bersama antara orang tua, sekolah, dan masyarakat/lingkungan sekitar. Menyerahkan sepenuhnya pendidikan karakter pada guru di sekolah merupakan hal yang mustahil.
Rumah/keluarga merupakan character builder utama dan pertama. Orang tua tidak bisa menuntut sekolah jika anaknya berkelakukan buruk, jika orang tua bahkan tidak pernah memantau dan mengajarkan langsung pendidikan karakter pada anak-anaknya. Pendidikan karakter tidak cukup dengan ceramah dan nasihat. Terlebih adalah percontohan dan pengaplikasian. Jangan harap anak akan menjadi manusia yang peduli terhadap sekitar jika orang tua bahkan tidak mempedulikan anak-anaknya (dengan menyerahkan pengasuhan anak pada baby sitter). Jangan harap anak akan menjadi manusia yang menghormati dan menghargai sesamanya jika orang tua bahkan tidak pernah mendengar keinginan dan pendapat anak.
Demikian pula masyarakat sekitar tempat sang anak bermain dan bersosialisasi, meniru, mencontoh, dan menerapkannya dalam diri mereka. Kondisi sosial lingkungan sangat mempengaruhi pembentukan karakter anak. Jika anak tumbuh dalam lingkungan yang keras, maka kemungkinan besar anak akan menjadi pribadi berkarakter keras dan kurang lembut hatinya. Jika anak tumbuh dalam lingkungan yang mengedepankan prestasi sebagai prestise, maka secara tidak langsung akan memicu dia menjadi pribadi yang berkarakter kompetitif dalam hal yang positif.
Dan terakhir, sekolah sebagai lingkungan akademis dan sosial bagi anak, harus juga memberikan kondisi yang kondusif bagi pembentukan karakter baik anak. Membudayakan untuk menghormati yang lebih tua, menghargai pendapat orang lain, bersikap demokratis, tidak diskriminatif, dan mendorong siswa untuk lebih kompetitif dalam prestasi daripada dalam hal posesi (kepemilikan harta benda). Guru sebagai sebagai contoh terdekat dengan siswa adalah main agent untuk menyebarkan teladan ini, dengan cara:
1. memanggil siswa dengan nama aslinya (bukan nama sebutan). Hal ini bertujuan untuk menumbuhkan kepercayaan diri siswa dan kebanggaan akan identitasnya.
2. Mengelompokkan siswa (dalam kelompok belajar)  secara heterogen, untuk membiasakan siswa menghargai keberagaman.
3. Mengapresiasi pendapat siswa dengan tidak memotong perkataanya ketika mengemukakan pendapat.
4. Mengkonsultasi siswa yang berlaku kurang baik tanpa mencelanya langsung di depan teman-teman kelasnya.
5. Membudayakan kejujuran dengan guru sebagai contohnya.
Character Building from Home
Menurut hemat saya, daripada menambahkan mata pelajaran Pendidikan karakter di sekolah, lebih baik membuat gerakan nasional “Character Building from Home“. Kenapa rumah? karena rumahlah titik awal dan titik akhir dari perkembangan karakter anak setiap harinya. Ibarat perang, rumah adalah markas dimana sang anak (prajurit) dipersenjatai dan dibekali dengan senjata dan taktik perang yang efektif untuk mengalahkan musuh (pengaruh negatif dari pergaulan) dan untuk memenangkan perang (mengambil contoh negatif). Rumah/ orang tua yang membiarkan anaknya tumbuh dengan sendirinya sama dengan melepaskan prajurit ke medan perang tanpa dilengkapi senjata dan taktik perang. Bisa jadi prajurit selamat jika dia beruntung, selamat dengan penuh luka, atau bahkan gugur di medan perang.
Yang bisa dilakukan pemerintah, salah satunya dengan mengontrol media penyiaran, terutama TV dan internet, yang merupakan media paling efektif dan paling banyak digunakan oleh anak.
Membeli lisensi channel edukasi internasionamerupakan salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk menyaring pengaruh negatif dari tayangan-tayangan TV tidak bermanfaat.
Mengendorse anak negeri untuk membuat tayangan edukasi budi pekerti dalam packaging yang lebih menarik (dalam komik maupun kartun). Tentu saja, dengan mewajibkan stasiun TV swasta berating tinggi untuk menayangkannya pula.
Memberikan workshop gratis bagi orang tua dengan packaging yang menarik tentunya dan variasi kegiatan yang menarik pula, misal: dengan metode outbond, role play, dan problem solving.
Membentuk komunitas-komunitas kecil di setiap RT di seluruh Indonesia (dengan format mirip ibu-ibu PKK/Posyandu) yang mengkonsentrasikan pada pendidikan karakter anak untuk ibu-ibu se RT. kalau perlu, adakan lomba The Best Character Village tiap kota.
Akhirnya, pendidikan karakter adalah pendidikan yang kontinyu dan holistik yang tidak bisa diserahkan dan dinilai oleh satu lembaga saja (sekolah), namun juga merupakan tanggung jawab bersama dengan keluarga dan masyarakat sekitar.
Indonesia berkarakter, why not?

May 1, 2011

Lestari sang TKI


*In commemorating May Day, 1 May 2011
Lestari, istri seorang buruh bangunan di sebuah desa di Jawa Timur, satu dari ratusan istri-istri buruh bangunan di desanya. Desa yang bertanah subur dan beriklim sejuk tempatnya lahir, besar, menikah, berkeluarga, dan punya anak. Sayangnya desa indah itu tak cukup indah bagi rezekinya. Beberapa kali ia mencoba berdagang, namun gagal yang ia dapat.
Tahun 2000, saat krisis moneter menimpa, Lestari semakin tak berkutik. Suaminya tak bisa menambah pendapatan keluarganya. Lestari tak tega melihat anak satu-satunya: Indah, yang begitu semangat sekolah dan selalu menduduki peringkat teratas. Masih sangat jelas terngiang ucapan sang anak di suatu malam, menjelang tidur, “Buk, aku pengen jadi dokter anak pokoknya. Dulu adek kena polio, buta, dan nggak bisa bicara. Aku mau ngobati anak-anak.
Adek yang dimaksud Indah, adalah Ratri, anak kedua Lestari, yang meninggal di usia delapan tahun karena angin duduk. Di usia 8 tahun, dimana-mana anak normal sudah kelas 2 SD, hanya dilalui Ratri dengan bermain “kote’an” di rumah. Ratri menderita polio, sehingga kakinya dan badannya mengecil dan tidak bisa tumbuh seperti anak normal. Ia pun menderita kebutaan di usia 2 tahun karena kecelakaan. Keadaan ekonomi Lestari yang sulit membuat Ratri tidak bisa operasi. Di usia 8 tahun, Ratri meninggal karena penyakit angin duduk.
Indah yang menyaksikan adiknya sakit hingga meninggal, berjanji pada Lestari untuk menjadi dokter. “Buk, janji ya buk ya? aku bisa jadi dokter ya buk ya? Matematika sama IPAku dapet 100 terus e buk”. Itu yang selalu diucapkan Indah ketika ia masuk bangku SMP. Lestari hanya bisa senyum dan mengangguk untuk menyenangkan anak satu-satunya itu. Padahal, ia ketar ketir, SMA aja belum tentu bisa lanjut.
Di sekolah desa, tahun itu, belum ada program beasiswa seperti sekarang. Lestari tidak punya jalan lain kecuali menjadi TKW ke Hongkong. Ia melihat beberapa tetangganya yang berhasil menyekolahkan anaknya hingga SMA, membangun rumah, punya toko, dan membeli tanah. Si Lestari lugu pun akhirnya meminta ijin kepada suaminya untuk berangkat ke Hongkong. Demi sang anak. Demi mimpi Indah, demi hidup yang lebih baik.
Setelah 6 bulan training bahasa dan pelatihan keterampilan, Lestari terbang ke Hongkong dan mendapatkan pekerjaan sebagai caretaker (perawat orang sepuh). Majikannya sangat baik dan memberikan Lestari gaji yang memadai. Lestari selalu mengirim surat kepada Indah, menanyakan kabarnya dan sekolahnya. Indah selalu membaca surat ibunda tercintanya dengan tangis haru bercampur doa, ia berat berpisah dengan ibunya yang tegar itu, namun ia harus tegar pula demi ibu dan cita-citanya.
Setahun kemudian, orang tua yang dirawat lestari meninggal. Ia pun di transfer ke majikan baru. Kali ini, ia diperlakukan sangat buruk. Keluarga majikannya adalah keluarga besar dan ia harus melayani semua orang di keluarga itu, menyiapkan makanan mereka, mencuci baju mereka (pake tangan), menunggu rumah, dan tidak ada libur hari minggu. Ia diperlakukan sebagai pembantu, bukan lagi sebagai perawat. Dari 24 jam seharinya, hanya 5 jam yang bisa ia punya. 3 jam untuk tidur, sisanya untuk duduk sejenak dan melihat foto anaknya si Indah. Hanya Indah yang menguatkannya. Serikat Buruh tak terlalu membantunya. Daripada ia dikirim pulang, ia memilih bertahan di neraka itu hingga satu tahun hingga kontraknya habis.
2003, Lestari kembali ke tanah air. Indah dan bapaknya menjemput di bandara dan mereka berangkulan dengan berurai air mata. Lestari lega bisa melihat lagi Indah, anaknya dan binar semangat yang ada di matanya. mata itu, yang selalu menerbitkan semangat dan kekuatan. Indah senang bisa bersama lagi dengan ibu terkuat dan tertegarnya itu, meski ia tak tahu seberapa berat tahun terakhir yang dilalui ibunya.
Hongkong tak merubah Lestari lugu yang dulu. Ia tetap lugu, dan mudah ditipu. 2 tahun kemudian, Ia terbujuk oleh seorang penipu yang berdalih Bina Masyarakat mandiri, menawarkan program investasi yang melibatkan banyak industri, termasuk pertanian dan perkebunan. Ia investasikan semua hasil kerjanya di Hongkong untuk koperasi palsu itu dan setahun kemudian, koperasi itu tutup dan pemegang uangnya kabur entah kemana.
Lestari terduduk lunglai, membayangkan kerja kerasnya di Hongkong,  membayangkan mimpi Indah yang ikut sirna, dan membayangkan betapa bodohnya dia.
Indah sudah kelas 3 SMA. Ia masuk program IPA seperti mimpinya ketika SMP. Nilai terbaik tetap diraihnya. Tahun depan, ia ingin daftar SPMB untuk Fakultas Kedokteran. namun, ia tak berani bilang ke ibundanya, melihat musibah yang menimpanya.
Suatu malam, Lestari bertanya pada Indah, “Nduk, kamu masih pengen kuliah kan?. Dengan takut-takut, Indah menjawab, “Iya buk, Indah masih pengen jadi dokter anak. Tapi ndak usah aja ya buk, Indah kerja aja dulu.” Lestari tahu betul watak anaknya itu, dia anak yang sangat gigih dan pekerja keras, dan tidak mungkin ia mengecewakan dan menyia-nyiakan kecerdasan anak semata wayangnya itu. Cukuplah ia yang tamatan SMP. Cukuplah ia yang bodoh. Cukuplah keluarganya yang miskin. Indah harus pintar, Indah harus kuliah, dan Indah harus menjadi ibu yang cerdas dan tegar untuk anak-anaknya.
Indah diam-diam mendaftar SPMB tanpa sepengetahuan ibu dan bapaknya. ia tabung sedikit demi sedikit uang sakunya untuk membeli formulir SPMB dan ongkos bis ke kota. batinnya, coba-coba sajalah, semoga tidak lulus, biar tahun depan saja aku daftar. Dia pamitan ke ibunya untuk nginep di kosan Niah, sepupu Indah, anak dari kakak perempuan Lestari.
Di tanggal pengumuman kelulusan SPM, Indah mengajak Lestari ke kota. Dia bilang ingin minta sepatu baru. Lalu, di tengah jalan, ia membeli koran dan mencari pengumuman itu. jarinya menunjuk pada satu nama sembari bergetar. Ibunya yang tidak mengerti maksud anaknya itu bertanya, “Apa nduk?” “Iki jenengku buk.”
Lestari membaca judul pengumuman itu dan menyadari bahwa Indah diterima di universitas yang dia mimpikan. Ia pun memeluk putrinya dan bilang, “udah nduk, kamu kuliah saja. Ndak usah mikir biaya, biar ibu yang mikir.”
Semester pertama dilalui Indah dengan penuh prihatin. Ia memilih kosan yang paling murah dan rela puasa senin-kamis demi mengirit pengeluarannya. Ia menggenjot habis-habisan semangat belajarnya dan semester pertama ia ukur dengan IP 3.90.
Lestari semakin mantap untuk kembali ke Hongkong lagi. Indah harus jadi dokter, seperti yang sudah diimpikannya.
Hongkong tak lagi seperti dulu baginya, ia tak dapat pekerjaan sebagai caretaker lagi, namun sebagai petani buah. Ia bekerja di gunung, selama 2 tahun. Pagi-pagi sekali ia bangun dan mengusung ber sak-sak pupuk dan menyiangi rumput di area labih dari 2 hektar itu bersama beberapa kawannya. Lestari yang hanya punya sepetak kecil sawah pemberian ibunya, harus memaksa dirinya untuk kuat demi cita-cita Indah. Tak apalah ia kerjakan beban pekerjaan 2 lelaki dari pagi hingga petang non stop, hanya istirahat makan 2 kali dan tidak ada ijin istirahat sholat.
Lestari tak pernah memberi tahu Indah akan pekerjaannya di Hongkong. Ia jarang berkirim surat lagi, hanya sesekali menelepon Indah menanyakan kuliahnya. Indah mendapatkan beberapa beasiswa. Lestaripun semakin menguatkan tekadnya. Ia mengambil kontrak kerja 3 tahun sampai Indah lulus.
6 bulan sebelum kontraknya habis, Lestari dirundung musibah berturut-turut. Hasil panen yang menurun drastis membuatnya dihukum habis-habisan oleh majikannya, lalu ia ditinggal kabur oleh suaminya yang mabok janda, dan kepulangannya yang sulit sekali. Ia lewat 6 bulan dari kontrak resmi dan harus kucing-kucingan dengan polisi imigrasi. Sering ia harus membuat lubang sembunyi di tanah ketika petugas imigrasi memeriksa perkebunannya, karena tempat dia bekerja adalah lokasi berkumpulnya pekerja ilegal.
2008. tahun yang ia nanti-nantikan. Ia pulang sebulan sebelum kelulusan Indah sebagai dokter muda. Penat badan dan hatinya selama 3 tahun sirna seketika melihat anak satu-satunya tumbuh besar dan terlihat sangat dewasa dan cerdas. Meski ia akhirya menjanda, tapi cukup bahagia menghadiri pesta wisuda Indah. Tak henti-hentinya ia menangis bahagia karena Indah bisa lulus kuliah pertamanya, sebelumnya nanti melanjutkan ke spesialis.
2011. Lestari terduduk sendiri di rumahnya yang kini sepi. anak satu-satunya kuliah ke kota, dan suami satu-satunya pergi juga. Tapi Lestari yang tegar tak henti-hentinya bersyukur, karena mimpi anaknya terwujud, dan kehidupan yang lebih baik (yang dulu tak sempat ia nikmati) bisa ia wujudkan. Tinggal beberapa semester lagi sebelum gelar spesialis anak itu di sandang Indah.
*Lestari, salut atas perjuanganmu. Lindungi buruh Indonesia di luar negeri!

Masker Oksigen

photo from: Reader's Digest Akhir-akhir ini, saya terlibat pembicaraan yang lumayan mendalam dengan sahabat karib saya terkait deng...