August 8, 2017

Koridor

Koridor

Di antara dua pintu
terbentang koridor bisu
pintu tertutup di punggungku
pintu yang baru didepanku

Koridorku ramai dengan keheningan
Tak banyak hiruk pikuk kesenangan
Jarak pintu ke pintu jauh membentang
Terengah-engah ku dalam perjalanan

Namun jarak tak akan terlipat
Oleh kaki yang henti dalam penat
Untuk sampai di tempo tercepat
tetap melangkah meski gelap

Bukankah Tuhan maha baik
beri koridor sebagai perlindungan
Ia beri aman selama transisi
tak kepanasan dan tak kehujanan

Ada apa di ujung sana
Sebuah kebahagiaan atau kecewa
Akankah indah di balik pintu
yang dengan susah payah kutuju

Tataplah ke depan
tujulah pintu itu
temukanlah pelipuran
bagi pejalan yang merindu

Ciputat, 9 Agustus 2017
Photo: Castle Stallhof, Dresden (AS)

August 3, 2017

Survival and Development



Menjelang bulan Juli, pikiran sudah sangat gusar, sebab yang dinanti-nanti belum datang juga. Yang dinanti adalah uang beasiswa. Sebagai penerima beasiswa dari pemerintah RI, kebiasaan telat adalah sebuah kebenaran yang jamak. Meskipun studi S3 saya dimulai pada Juli 2016, nyatanya beasiswa turun pada September 2016. Beberapa bulan harus bertahan dengan uang sendiri. Tahun lalu, hasil kerja setahunlah yang digunakan untuk pre-finance 3 bulan. Benar saja, standar living cost di Adelaide per bulannya 17.500.000, yang mana bisa 3-4 kali gaji per bulan di Indonesia.

Tahun ini keadaan finansial sedang diuji. Dikarenakan status saya sebagai dosen tetap non PNS yang sedang tugas belajar, saya tidak mendapatkan gaji sama sekali dari kampus asal saya. Sehingga biaya ini itu per bulan hanya mengandalkan uang beasiswa. Dalam kondisi saya sedang field study seperti 6 bulan ini, ketiadaan uang beasiswa menjadi tantangan tersendiri. Strategi saya adalah: menunggak bayar tuition fee sebesar AUD 5,800-an atau sekitar 58 juta rupiah. Uang itulah yang saya pakai untuk membiayai riset saya selama 6 bulan termasuk honor partisipan, souvenir, asisten lapangan, biaya transkripsi wawancara, akomodasi dan transportasi, dan lain-lain. Tak ketinggalan, pengeluaran biaya hidup pribadi selama di Indonesia.

Tak ayal, saya saat ini termasuk dalam golongan "survival" yang dalam piramida Maslow ada pada piramida terbawah. Yah, mau tidak mau harus dihadapi, maka hajarlah! Saya selalu berdoa kepada Tuhan agar Ia membukakan jalan rejeki kendatipun saya tidak mengajar, rejeki lewat jalan lain! Saya mencari atau kadang ditawari kerjaan freelance: menjadi penerjemah, proofreader, penelaah buku, atau bahkan menjadi tutor. Sedikit demi sedikit, alhamdulillah bisa sedikit meringankan beban.

Dalam situasi survival seperti ini, saya jadi sedikit memikirkan tentang development. Misal: mengirimkan paper untuk konferens, ikut grant bersaing, dan sebagainya. Saya merasa pikiran sudah dipenuhi dengan "cari kerjaan apa lagi ya?". Duduk tenang lalu merangkai ide serasa sebuah privilege yang tidak bisa saya jangkau.

Seorang kawan yang juga saya anggap guru (saat ini sudah professor) menenangkan saya bahwa "ini adalah tahapan pahit yang perlu dilalui. Menjadi doktor bukan hanya menguji ketajaman pikir, namun juga kekuatan batin dan mental. Anggap saja ini exile (pengasingan) yang justu melejitkan potensi diri yang terdalam. Dalam keterbatasan, kita justru akan berfokus pada yang esensial dan urgent"

Nyess sekali. Semangat saya terlejit kembali! Ah kenapa pula saya lebay dan melow. Padahal dulu saja waktu kuliah S-2, saya bisa melakukan 3 hal sekaligus, menjadi housewife, guru kursus, dan mahasiswa S-2 di waktu yang bersamaan. Gaji dari kursus selama 5 bulan dipakai untuk bayar SPP satu semester. Pagi menyiapkan kebutuhan suami dan pekerjaan rumah lainnya, siang istirahat dan menyiapkan bahan ajar, sore mengajar smpai maghrib, dan malam (setelah menyiapkan makan malam dan beres-beres) diteruskan dengan belajar untuk materi kuliah dan tesis.

Saya pasti bisa! Dengan manajemen waktu yang baik, saya pasti bisa survival secara finansial dan juga survival secara akademis. Mudah-mudahan malah bisa ke level selanjutnya yaitu development, Amiin!

My last words, development tidak mutlak mensyaratkan ketercukupan dalam semua aspek. Meskipun dalam keterbatasan, diri kita bisa tetap melejit. Sabar, doa, usaha, manajemen waktu energi yang baik, dan jangan lupa tawakkal. Terakhir, carilah teman-teman baik yang senantiasa bersemangat positif :)

Salam semangat!


August 1, 2017

Me and my poetry


For the past year, I became a good friend with a long lost friend, poetry. A friend that I firstly met in my Senior High School, with the Kahlil Gibran, Sapardi Djoko Damono, Soetardji Calzoum Bachri, Chairil Anwar, and other male poets at that time. A friend that I mostly met at the school library where I usually spent my breaks or no-teacher time. Horison was a literary magazine in that period of time, my regular reading. I watched Rangga, a character in a well known movie for teenagers, Ada Apa Dengan Cinta, who wrote poetry and I thought it was cool to be a nerd who could weave words into beautiful poems.

Sadly, all of my poems were destroyed. I did. Because most of my poems were about my struggles with my personal and religious problems during my senior high, about my broken home parents, about my cute puppy love (whom I ended before I go to college), about my questions of life, and so on. I thought that the poems were so cheeky, cheesy, and bad. I burned them all in my grandma's pawon, a traditional fire used for cooking. That was the most disappointing things I ever did. I was just afraid, at that time, that when I got married and my future husband would find my handwritten poems, he would get jealous or even got angry.

Since last year when I began my another academic journey, I started to write poems again. I had more time during my travels, my assignments from my university, or simply my weekly walk. I had more time to be alone, to be in total silence, to be in a lonesome, to be with my inner self. The urge to write poetry returned. I could not help it.

I wrote my poems and posted them on Instagram. You can read them all here. I love both: poems and pictures. Homesick might be my biggest cause to write again. I was relieving my longing to my mom, my daughter, my usual routines. It did help expressing my other dark side (when you are doing one single task for a very long period, you got your dark side: anger, boredom, unconfident).

To this day, I have posted around 200 poems, and many more that I haven't compiled. I had a hope to publish my Anthology one day, with the poems that I wrote for so many years.

Poetry becomes my safe haven. When I'm sad, disappointed, overly happy, worry, hurt, excited, whenever I feel strong emotion, I wrote poetry. Sometimes, I write it for the sake of reflection. I like observing the world outside myself and somehow try to put what am I in this world. Why my presence is meaningful, what can I do more, and so forth.

As the academic journey usually occupy mostly your left brain, poetry is a good medium to balance your right brain. Though, a good poetry might also need a great amount of left brain work, such as selecting the most appropriate word, the rhyme, rhythm, and tone. But for me, I did right brain work first, the flow of ideas, the let out. Then, I'll do the left brain work to edit, rephrase, and touch up.

Anyway, I wrote this in the middle of my data analysis and transcription. Wish me luck with my extensive data.

Your bubbly friend, Arnis.


Masker Oksigen

photo from: Reader's Digest Akhir-akhir ini, saya terlibat pembicaraan yang lumayan mendalam dengan sahabat karib saya terkait deng...