February 28, 2011

Tukang Bubur, Suara Sikat, dan Saya


Teng! Teng! Teng! Bur... Bubuuuur... Begitu suara khasnya yang saya dengar setiap pagi. 10 menit lebih awal dari jam bangun tidur saya.
Ini adalah secuplik cerita tentang tukang bubur, suara sikat, dan saya. Tukang bubur yang selalu lewat depan rumah setiap pagi tanpa terkecuali 10 menit sebelum saya bangun (get up) tidur. Saya memang tidak pernah sekalipun membeli buburnya, karena saya hanya suka mendengar suara "Teng! Teng! Teng!" dan teriakan khas "Buuur...Bubuuuuur" itu. Selain itu, perut saya bermasalah dengan makanan "non-nasi" sebelum makan "the real nasi". Dia lewat sekitar jam 6.15 waktu Aceh, yang terangnya sama dengan jam 5 pagi di Jawa. Biasanya saya sudah melek, namun masih mulet sana sini sebelum benar-benar bangun.


Kemudian saya bangun, dan sholat shubuh masih valid jam segitu*. Dan, setiap hari tanpa terkecuali ada suara khas yang  saya dengar, yaitu: suara sikat. Suara seorang  tetangga yang menyikat bajunya ketika mencuci. Sepertinya suara ini terdengar lebih awal dari suara tukang bubur.

Srek! Srek! Srek! Begitu suara sikatnya.

This is not about bagaimana membuat bubur yang enak atau menyikat yang benar. Tidak, benar-benar tidak. Ini tentang konsistensi, kawan. Konsistensi dari dua profesi, penjual bubur dan sang tetangga ibu rumah tangga.


Bagi saya, bangun tidur di jam yang sama, melakukan kebiasaan rutin yang sama setiap hari adalah amat sangat sulit sekali (maaf atas kealayan saya). Untuk hari kerja (senin sampai jumat), mungkin bangun pagi adalah keharusan, karena saya harus menyiapkan sarapan untuk suami. Tapi di Sabtu Minggu, atau di hari libur kerja, rasanya bangun pagi adalah siksaan.


Dulu sewaktu kuliah, bangun pagi sudah biasa. Masak pagi-pagi sudah biasa. Belanja pagi-pagi biasa. Karena memang setiap hari ada kuliah, atau paling nggak ada kegiatan kampus yang mengharuskan untuk bangun pagi. Harus ketemu dosen, harus absen, harus ngerjakan tugas dengan teman, harus ngajar, dan sebagainya.


Tapi, begitu sudah lulus, (selain dari hari-hari kerja di atas), bangun pagi adalah ampun. Bahkan kadang di hari kerja pun, begitu kepala pusing tujuh keliling karena insomnia, rutinitas pagi pun harus rela berbagi dengan tidur bayar utang. Sarapan pagi cukup dengan mie.


Apalagi, jam kerja saya adalah di sore hari, yang, sangat memungkinkan untuk having free time dari pagi sampai siang. Kebanyakan terisi dengan hal yang saya ingin, mau, dan suka. Terkecuali dengan hal-hal tentang mengajar, yang saya kerjakan dengan sangat konsisten sejak dulu.


Tapi, tentang profesi saya yang lain, sebagai ibu rumah tangga, rasanya saya belum menemukan pola yang tetap untuk bisa konsisten dan setiap hari. Saya belum bisa di jam yang sama mencuci baju (saya nyuci kalau sudah numpuk), membersihkan rumah, memasak, pergi ke pasar, dan di hari yang sama setiap minggu untuk menyetrika.


Mungkin keteraturan dan pola yang tetap adalah hal yang saya tidak sukai. Saya lebih suka mengerjakan apa yang menurut saya penting dulu (bukan apa yang seharusnya berada dalam urutan pertama dalam to-do-list), dengan pola yang acak, karena saya orang yang mudah sekali bosan.
Satu-satunya yang saya tidak bosan adalah tetek bengek tentang mengajar bahasa Inggris untuk anak-anak. Karena saya bisa bermain dengan media, props, tehnik yang saya suka.


Saat malas datang, atau saat badan tidak enak, dan karena ketiadaan kegiatan lain di rumah, seringkali rutinitas itu kacau. Banyak pekerjaan yang tertunda. Dan akhirnya menimbulkan kemalasan yang jauh lebih besar keesokan harinya. Dan seterusnya.


Saya kalah beberapa langkah di belakang dari tukang bubur dan si tetangga penyikat itu. Yang tidak mengenal hari, yang tidak mengenal mood, yang tidak mengenal tidak enak badan, yang tidak mengenal malas, karena mereka melawan mereka semua.


Oke, mungkin mereka melakukannya karena keharusan. Si tukang bubur harus keliling pagi-pagi buta sebelum orang masak agar peluang buburnya dibeli lebih besar, karena dia harus punya uang untuk makan sehari itu, karena dia harus memberi uang saku anaknya. Si ibu penyikat harus mengerjakan pekerjaanya di waktu yang konsisten karena dia harus menyiapkan anaknya yang akan pergi ke sekolah, suaminya yang akan pergi berjualan.


Kadang, konsistensi terjadi begitu saja karena ada faktor eksternal (konsistensi lain) yang tidak bisa ditawar (seperti kuliah pagi, suami berangkat ke kantor,  anak si ibu tetangga yang harus berangkat sekolah, dan bubur yang hanya enak kalau dimakan pagi-pagi).

Kadang, saat faktor eksternal itu tidak ada, konsistensi-pun meluruh.


Namun, ada begitu banyak orang di luar sana yang berhasil memerangi dirinya sendiri untuk tetap berada dalam kebiasaan yang sama meskipun faktor eksternal itu tidak ada lagi.

Dan dalam hal ini, saya harus belajar pada tukang bubur dan si ibu penyikat yang tidak terpengaruh faktor eksternal itu.



*subuh di Banda Aceh adalah 5:45, dan matahari terbit pada 6:35.

February 27, 2011

Berapa harga syukurmu?


Seorang pengemis tulen (bukan pengemis boongan) begitu mudahnya terharu dan menangis ketika uang seribu rupiah diberikan padanya. Puluhan doanya bertubi-tubi diucapkannya pada orang yang memberi uang tersebut. Tak ketinggalan ia ucapkan puluhan doa syukur kepada Tuhan atas rezeki yang dia peroleh saat itu.


Seorang employee, di akhir bulannya sedang ketar ketir menunggu tanggal gajiannya. Uang di dompetnya tinggal  50 ribu. Masih ada 1 hari lagi sebelum hari bayaran. Tanggal 1 pun tiba, lebih dari 1 juta yang ia peroleh bulan ini sebagai employee newbie. Ia membuka amplop gajinya dengan menarik nafas panjang tanda kecewa. “Mana cukup uang ini untuk sebulan?” tanyanya pada hatinya sendiri.


Ia lupa bahwa ada puluhan bahkan ratusan pengemis di luar sana, yang sangat bersyukur meski sebulan hanya mendapat 300 ribu. Ia lupa bahwa seringkali mereka hanya bisa makan nasi tanpa lauk dan mereka tetap memanjatkan syukur kepada Tuhan. Ia lupa bahwa uang yang diperolehnya itu bisa menghidupi 2-3 orang selain dirinya sendiri. Ia lupa bahwa “bukanlah seberapa banyak yang bisa ia peroleh, namun seberapa besar rasa syukurnya.”  

February 25, 2011

Gerak



Seindah apapun seorang manusia, apakah ia masih berguna tanpa gerak? Akankah ia bermakna tanpa dipergunakan?

Gerak menghanyutkan kestagnanan diri, menghanyutkan ilusi, dan mengenyahkan apriori. Gerak membuat kita mengerti, bahwa kesulitan kemarin bukanlah apa-apa kini.

Bukankah hanya gerak yang bisa membuat jarak? Bukankah geraklah yang mengantar kita pada kayanya pengalaman?

Sepeda yang tak bergerak hanyalah menjadi miniatur, atau paling agung menjadi patung. Maka kau yang diam juga akan menjadi batu. Waktu kau biarkan berlalu tanpa tuju.

Mari bergerak, meski terserak. Meski nanti kau tersandung, ingatlah aku kan selalu menghibur. 

Masker Oksigen

photo from: Reader's Digest Akhir-akhir ini, saya terlibat pembicaraan yang lumayan mendalam dengan sahabat karib saya terkait deng...