July 4, 2011

Iboih: Surga Snorkeling di Ujung Indonesia


cover-iboih
Hari sudah lewat separuh ketika Ferry yang kami tumpangi bersandar di pelabuhan Balohan, Pulau Weh. Sehari sebelumnya (Jumat, 1 Juli 2011) kami dibuat kecewa dengan habisnya tiket Ferry, sampailah juga kami di Pulau paling ujung di peta Indonesia ini setelah menempuh 2 jam perjalanan laut. Kami mengantri mulai jam 7 pagi agar bisa mendapat 2 tiket di antara ratusan penyerbu tiket di musim libur sekolah ini.


Panas siang hari itu tak terlalu terik. Mendung melingkupi langit Sabang. Kami bersiap di atas motor kami yang berada di barisan terdepan pintu keluar ferry. Belum sempurna portal exit dibuka, puluhan kuli angkut menyerbu Ferry dari sisi depan dan samping dengan memanjat tangga-tangga. Sebuah perjuangan mempertaruhkan nyawa demi rupiah.


Berbekal GPS dan modal bertanya, kamipun melanjutkan perjalanan kami ke kota Sabang yang berjarak sekitar 1 jam perjalanan. Seharusnya kami sudah sampai ke Iboih  yang berjarak 35 km. Namun karena GPSpun ternyata mati, kami justru tersesat ke jalan menuju Kilometer Nol (km 0). Scoopy yang kami naiki meraung-raung menaiki jalanan menanjak menuju kilometer nol ini. Saya berdoa berkali kali agar jangan sampai si Scoopy mogok atau bocor ban di tengah jalanan super sepi dengan kiri kanan adalah hutan lindung penuh dengan satwa monyet. It must be the worst day if he does.


Syukur Alhamdulillah, sampailah juga di titik terujung nusantara ini. Kilometer Nol Sabang. Titik terujung dalam peta geografis Indonesia, ujung yang menunjukkan eksistensi nusantara. Beberapa kendaraan terparkir di hadapan kami. Beberapa rombongan wisatawan domestik tampak sibuk berfoto ria mengabadikan "I was here" mereka di Tugu Kilometer Nol ini. Tampak seorang pemandu wisata sibuk menjelaskan sejarah tugu ini. Sebagai backpacker yang nggak mau rugi, sayapun mencuri dengar darinya, bahwa tugu tersebut tidak berada tepat di kilometer nol. Kilometer Nol yang sebenarnya berada di Pulau Rondo (dua kilo dari tugu itu). Karena Pulo Rondo sulit diakses (pengunjung harus menyeberang ke pulau tersebut), maka tugu pun diletakkan di Ujung  terluar pulau Weh, di desa Iboih.

tugu-nol3

Nol Kilometer of Indonesia
Zero Kilometer of Indonesia
Dengan menggeretakkan tulang-tulang punggung dan pinggang, kamipun menaiki tangga menuju monumen fenomenal ini. Di kejauhan, nampak Pulau Rondo, pulau kecil dimana seharusnya tugu ini berada. Angin samudera Hindia berhembus begitu kencangnya. Terik matahari mulai terasa di sini.


Kamipun mengelilingi tugu ini, dan menemukan tangan-tangan jahil yang mengotori dinding, tangga, hingga prasasti tempat dituliskannya posisi geografis kilometer nol tersebut. Tampak di sana-sini coretan tangan, entah itu bertuliskan nama mereka, atau sekedar "saya pernah kemari". Benar-benar menjengkelkan.
***

Dengan mengingat-ingat jalur sebelumnya, kamipun melanjutkan perjalanan ke tujuan semula: Iboih beach. 45 menit kemudian, kami sampai di Pantai Gapang. Perut sudah berdisko ria dan berdemo untuk diisi. Maka mampirlah kami di warung masakan Aceh yang juga menyewakan peralatan snorkeling dan diving. Sayangnya saya belum bisa dan belum pernah sekolah menyelam, so, sepertinya saya hanya akan mencoba snorkeling saja. tapi tidak sekarang. Perut saya minta makan.
Selepas makan, kamipun menyusuri pantai berair hijau itu. Wah! ternyata yang di foto-foto para traveler itu sungguhan! Nggak pake Sotosop! Lautnya aseli transparan! Dan airnya aseli hijau! Dengan segala kenorakan saya, sayapun menjeprat jepret sana sini.


iboih7
gapang

Indahnya Gapang
Indahnya Gapang
Saya menelepon penginapan yang sudah saya booking dua hari sebelumnya, meminta jemput di dermaga Gapang. 10 menit kemudian, sebuah boat menjemput kami "Iboih Inn kak?" Yes! Berjalanlah boat itu dengan sangat nyaringnya di bawah udara pantai yang sedang hangat dan anginnya yang sangaat sejuk. Andai tidak bawa tas-tas, saya pengen mencebur saja rasanya. Airnya dingin sekali, segar pula!


Dari kejauhan nampak kapal pesiar dari New Zealand bertuliskan "Jellyfish", sayapun iseng melambai-lambaikan tangan ke dua bule di dalamnya. Tiba-tiba boat yang kami tumpangi berhenti mendadak. Mas-mas yang menyetir boat itu menggoncang-goncang beberap jerigen bensin yang ternyata kosong. Bule yang tadi saya lambaikan tangan mengira saya melambai tangan untuk mencari pertolongan, maka dia menumpang boat dia, dan menghampiri boat kami, "No fuel?". Sayapun menjawab, "we ran out of fuel, can you help us?". Dengan baik hatinya ia menjawab, "Sure, where is the rope?" lalu dia menarik boat kami dengan boat dia. Terseok-seok boat dia menarik boat kami yang berisi tiga orang, namun untungnya sampai juga di Iboih Inn. Dengan mengucap "thank you dan goodbye", bule itupun meninggalkan kami.


Mata saya terbelalak dengan pemandangan beberapa bungalow di depan saya. Sumpah serapah pada pemilik bungalow yang saya konfirmasi tadi pagi karena memasang harga tinggi, lumayan terobati dengan pemandangan super keren yang nampak dari bungalow kami. Bungalow kami tepat berada di atas bibir pantai. Bawah kami adalah laut hijau tadi. Beranda kami langsung menghadap ke Pulau Rubiah, surganya diving juga. Ada hammock yang langsung menyita perhatian saya untuk segera berayun di atasnya.

iboih3
Dermaga yang Wah!

Tempat kami makan malam dan duduk-duduk sore
Tempat kami makan malam dan duduk-duduk sore

Pulau Rubiah dari Iboih Inn
Pulau Rubiah dari Iboih Inn
Setelah beristirahat dan mandi, kamipun duduk-duduk santai di resto yang disediakan penginapan. Sambil menyeruput teh hangat, kami mengamati sebuah keluarga asal Poland. Si Bapak sedang berjemur, si Ibu sedang memandangi hasil gambar si anak laki. Si anak laki dan si anak perempuan sedang duduk super santai sambil menggambar. Tak lama kemudian, dua anak itu menceburkan diri di segarnya air laut itu dan mengamati ikan-ikan warna warni sambi sesekali teriak-teriak kegirangan.

iboih5
Snorkeling Time!
Tak mau kalah, saya yang tidak bisa snorkeling atau diving karena faktor busana, akhirnya mencari tempat strategis yang jauh dari pandangan mata, tepat di depan bungalow kami. Dan kamipun berenang di sana. sambil meringis-ringis kesakitan karena kaki beberapa kali menginjak duri laut, sayapun tetap kegirangan. Keesokan harinya kami berencana snorkeling di Rubiah, yang juga jauh dari pandangan mata orang lain.


Malang tak dapat ditolak. Keesokan harinya ternyata hujan terus mengguyur dari pagi hingga jam 11 siang. Waktu sewa kami cuma sampai jam 12 siang, sehingga kamipun hanya main mancala dan sarapan, lalu memandangi Rubiah dari kejauhan. Kamipun harus berpuas hati dengan snorkeling singkat kemarin sore. Di sepanjang mata memandang, anak-anak penghuni penginapan sedang bersnorkeling ria di dekat geladak. Anak-anak bule itupun juga tak kalah riangnya.


Menumpang kembali boat yang tak lagi mogok, kami kembali ke Gapang, untuk kemudian menuju kota Sabang dan mengarungi pantai-pantainya yang lebih menakjubkan. (bersambung ke post berikutnya)

No comments:

Post a Comment

Masker Oksigen

photo from: Reader's Digest Akhir-akhir ini, saya terlibat pembicaraan yang lumayan mendalam dengan sahabat karib saya terkait deng...