May 2, 2011

Hardiknas dan Pendidikan Karakter


“Tema Hardiknas kita Pendidikan Karakter Sebagai Pilar Kebangkitan Bangsa dengan sub tema Raih Prestasi Junjung Tinggi Budi Pekerti,” ungkap Sekjen Kemendiknas Dodi Nandika dalam jumpa pers di Kantor Kemendiknas Jakarta, Jumat (29/4/2011).
Pendidikan Budi Pekerti menjadi tema yang diusung Kemdiknas tahun ini. Aplikasinya, kurikulum akan diperpadat dengan mata pelajaran budi pekerti/ pendidikan karakter. Seberapa praktikalnya gagasan ini?
Definisi Pendidikan Karakter
Meskipun saya setuju dengan tujuan mulia pemerintah untuk memperbaiki karakter generasi penerus bangsa, namun saya rasa pemerintah melalui Kemdiknas perlu memberikan definisi yang jelas dan praktikal mengenai pendidikan karakter, mengingat materi yang diajarkan merupakan benda abstrak. Berbeda dengan mata pelajaran lain yang mempunyai kriteria penilaian yang jelas, pendidikan karakter ini harus bisa didefinisikan sedetail mungkin. Jika tidak, pendidikan karakter hanya akan menjadi mata pelajaran sampingan yang tidak memberikan signifikansi berarti bagi peserta didik.
Aspek karakter yang mana yang akan dinilai, dan bagaimana menilainya?
Karakter merupakan akumulasi atawa produk yang terintegral dari didikan rumah/orang tua, pergaulan dengan kawan sebaya di lingkungan tetangga, kondisi sosial ekonomi lingkungan sekitarnya (rumah, sekolah, tempat les, tempat mengaji, dll), dan faktor-faktor psikologis lainnya, seperti: status sosial, kecerdasan emosi/ spiritual, usia, dll.
Sekolah adalah satu dari sekian banyak faktor penentu karakter siswa. Dan ketika sekolah menjadi “institusi penilai” karakter ini, maka pertanyaan yang timbul adalah: aspek karakter yang mana yang akan dinilai dan diajarkan?
Apakah siswa yang diam dan sopan ketika mata pelajaran Budi Pekerti (namun di luar jam pelajaran tersebut dia ndugal) akan mendapat nilai bagus, dan siswa yang secara fisik terlihat sangat ugal-ugalan (karena faktor keluarga yang broken home, misalnya) akan mendapat nilai jelek?
Ataukah nilai akan diambil dari ujian tulis (baik berupa hafalan, maupun ujian essay)? Seberapa representatif nilai ini menggambarkan baik/buruknya karakter peserta didik? Apakah siswa yang essaynya baik bisa dianggap berkarakter baik pula?
Jika karakter dinilai dari sikap keseharian siswa selama di sekolah, maka siapa dan bagaimanakah sistematika penilaian ini? Akankah ada guru yang diam-diam menjadi “petugas penilai karakter” ? Seperti apakah raportnya nanti?
Tambah mata Pelajaran: Tambah Beban Siswa
Dengan kurikulum KTSP saat ini, siswa SD-SMA di Indonesia memiliki beban rata-rata jam belajarnya 6 jam perhari di sekolah. Beberapa sekolah bahkan menambahkan jam pelajaran atau memangkas beberapa mata pelajaran muatan lokal untuk bisa disisipi TIK, Bahasa Mandarin, Bahasa Arab, Teknologi Informasi dan Komunikasi, dan sebagainya.
Menambah satu mata pelajaran lagi, berarti menambah beban jam pelajaran, dan menambah beban siswa. Terlebih lagi, menambah beban guru wali kelas untuk menulis raport siswa. (FYI, raport sekarang terdiri dari 2-3 halaman A4, berisi nilai dan definisi nilainya, ditulis tangan, satu persatu)
Pendidikan Karakter dalam Mata Pelajaran lain
Menurut hemat saya, alih alih menambah mata pelajaran baru, lebih baik menginklusi pendidikan karakter dalam mata pelajaran lain. Misalnya, Bahasa Indonesia (melalui cerita-cerita/ dongeng-dongeng yang ada dalam materi pelajaran), Agama (melalui kisah-kisah teladan, tamsil, riwayat, fikih, dsb.), Bahasa Inggris (metode konklusi di setiap sesi, yaitu dengan meminta siswa menarik pelajaran moral yang mereka dapatkan setelah sesi pelajaran Bahasa Inggris usai), dan PPKn/ PMP (melalui kisah nyata dan studi kasus). Selain dalam pelajaran, Pendidikan karakter juga bisa diinklusikan ke dalam kegiatan ekstra kurikuler, misalnya: Pramuka dan Palang Merah Remaja.
Pembentukan Karakter melalui Teladan dan Pengkondisian
Pendidikan karakter bukanlah semata-mata mengenai pengetahuan, namun tentang kepribadian yang tecerminkan dalam perilaku sehari-hari. Pembangunan karakter (character building) merupakan tugas bersama antara orang tua, sekolah, dan masyarakat/lingkungan sekitar. Menyerahkan sepenuhnya pendidikan karakter pada guru di sekolah merupakan hal yang mustahil.
Rumah/keluarga merupakan character builder utama dan pertama. Orang tua tidak bisa menuntut sekolah jika anaknya berkelakukan buruk, jika orang tua bahkan tidak pernah memantau dan mengajarkan langsung pendidikan karakter pada anak-anaknya. Pendidikan karakter tidak cukup dengan ceramah dan nasihat. Terlebih adalah percontohan dan pengaplikasian. Jangan harap anak akan menjadi manusia yang peduli terhadap sekitar jika orang tua bahkan tidak mempedulikan anak-anaknya (dengan menyerahkan pengasuhan anak pada baby sitter). Jangan harap anak akan menjadi manusia yang menghormati dan menghargai sesamanya jika orang tua bahkan tidak pernah mendengar keinginan dan pendapat anak.
Demikian pula masyarakat sekitar tempat sang anak bermain dan bersosialisasi, meniru, mencontoh, dan menerapkannya dalam diri mereka. Kondisi sosial lingkungan sangat mempengaruhi pembentukan karakter anak. Jika anak tumbuh dalam lingkungan yang keras, maka kemungkinan besar anak akan menjadi pribadi berkarakter keras dan kurang lembut hatinya. Jika anak tumbuh dalam lingkungan yang mengedepankan prestasi sebagai prestise, maka secara tidak langsung akan memicu dia menjadi pribadi yang berkarakter kompetitif dalam hal yang positif.
Dan terakhir, sekolah sebagai lingkungan akademis dan sosial bagi anak, harus juga memberikan kondisi yang kondusif bagi pembentukan karakter baik anak. Membudayakan untuk menghormati yang lebih tua, menghargai pendapat orang lain, bersikap demokratis, tidak diskriminatif, dan mendorong siswa untuk lebih kompetitif dalam prestasi daripada dalam hal posesi (kepemilikan harta benda). Guru sebagai sebagai contoh terdekat dengan siswa adalah main agent untuk menyebarkan teladan ini, dengan cara:
1. memanggil siswa dengan nama aslinya (bukan nama sebutan). Hal ini bertujuan untuk menumbuhkan kepercayaan diri siswa dan kebanggaan akan identitasnya.
2. Mengelompokkan siswa (dalam kelompok belajar)  secara heterogen, untuk membiasakan siswa menghargai keberagaman.
3. Mengapresiasi pendapat siswa dengan tidak memotong perkataanya ketika mengemukakan pendapat.
4. Mengkonsultasi siswa yang berlaku kurang baik tanpa mencelanya langsung di depan teman-teman kelasnya.
5. Membudayakan kejujuran dengan guru sebagai contohnya.
Character Building from Home
Menurut hemat saya, daripada menambahkan mata pelajaran Pendidikan karakter di sekolah, lebih baik membuat gerakan nasional “Character Building from Home“. Kenapa rumah? karena rumahlah titik awal dan titik akhir dari perkembangan karakter anak setiap harinya. Ibarat perang, rumah adalah markas dimana sang anak (prajurit) dipersenjatai dan dibekali dengan senjata dan taktik perang yang efektif untuk mengalahkan musuh (pengaruh negatif dari pergaulan) dan untuk memenangkan perang (mengambil contoh negatif). Rumah/ orang tua yang membiarkan anaknya tumbuh dengan sendirinya sama dengan melepaskan prajurit ke medan perang tanpa dilengkapi senjata dan taktik perang. Bisa jadi prajurit selamat jika dia beruntung, selamat dengan penuh luka, atau bahkan gugur di medan perang.
Yang bisa dilakukan pemerintah, salah satunya dengan mengontrol media penyiaran, terutama TV dan internet, yang merupakan media paling efektif dan paling banyak digunakan oleh anak.
Membeli lisensi channel edukasi internasionamerupakan salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk menyaring pengaruh negatif dari tayangan-tayangan TV tidak bermanfaat.
Mengendorse anak negeri untuk membuat tayangan edukasi budi pekerti dalam packaging yang lebih menarik (dalam komik maupun kartun). Tentu saja, dengan mewajibkan stasiun TV swasta berating tinggi untuk menayangkannya pula.
Memberikan workshop gratis bagi orang tua dengan packaging yang menarik tentunya dan variasi kegiatan yang menarik pula, misal: dengan metode outbond, role play, dan problem solving.
Membentuk komunitas-komunitas kecil di setiap RT di seluruh Indonesia (dengan format mirip ibu-ibu PKK/Posyandu) yang mengkonsentrasikan pada pendidikan karakter anak untuk ibu-ibu se RT. kalau perlu, adakan lomba The Best Character Village tiap kota.
Akhirnya, pendidikan karakter adalah pendidikan yang kontinyu dan holistik yang tidak bisa diserahkan dan dinilai oleh satu lembaga saja (sekolah), namun juga merupakan tanggung jawab bersama dengan keluarga dan masyarakat sekitar.
Indonesia berkarakter, why not?

No comments:

Post a Comment

Masker Oksigen

photo from: Reader's Digest Akhir-akhir ini, saya terlibat pembicaraan yang lumayan mendalam dengan sahabat karib saya terkait deng...