May 1, 2011

Lestari sang TKI


*In commemorating May Day, 1 May 2011
Lestari, istri seorang buruh bangunan di sebuah desa di Jawa Timur, satu dari ratusan istri-istri buruh bangunan di desanya. Desa yang bertanah subur dan beriklim sejuk tempatnya lahir, besar, menikah, berkeluarga, dan punya anak. Sayangnya desa indah itu tak cukup indah bagi rezekinya. Beberapa kali ia mencoba berdagang, namun gagal yang ia dapat.
Tahun 2000, saat krisis moneter menimpa, Lestari semakin tak berkutik. Suaminya tak bisa menambah pendapatan keluarganya. Lestari tak tega melihat anak satu-satunya: Indah, yang begitu semangat sekolah dan selalu menduduki peringkat teratas. Masih sangat jelas terngiang ucapan sang anak di suatu malam, menjelang tidur, “Buk, aku pengen jadi dokter anak pokoknya. Dulu adek kena polio, buta, dan nggak bisa bicara. Aku mau ngobati anak-anak.
Adek yang dimaksud Indah, adalah Ratri, anak kedua Lestari, yang meninggal di usia delapan tahun karena angin duduk. Di usia 8 tahun, dimana-mana anak normal sudah kelas 2 SD, hanya dilalui Ratri dengan bermain “kote’an” di rumah. Ratri menderita polio, sehingga kakinya dan badannya mengecil dan tidak bisa tumbuh seperti anak normal. Ia pun menderita kebutaan di usia 2 tahun karena kecelakaan. Keadaan ekonomi Lestari yang sulit membuat Ratri tidak bisa operasi. Di usia 8 tahun, Ratri meninggal karena penyakit angin duduk.
Indah yang menyaksikan adiknya sakit hingga meninggal, berjanji pada Lestari untuk menjadi dokter. “Buk, janji ya buk ya? aku bisa jadi dokter ya buk ya? Matematika sama IPAku dapet 100 terus e buk”. Itu yang selalu diucapkan Indah ketika ia masuk bangku SMP. Lestari hanya bisa senyum dan mengangguk untuk menyenangkan anak satu-satunya itu. Padahal, ia ketar ketir, SMA aja belum tentu bisa lanjut.
Di sekolah desa, tahun itu, belum ada program beasiswa seperti sekarang. Lestari tidak punya jalan lain kecuali menjadi TKW ke Hongkong. Ia melihat beberapa tetangganya yang berhasil menyekolahkan anaknya hingga SMA, membangun rumah, punya toko, dan membeli tanah. Si Lestari lugu pun akhirnya meminta ijin kepada suaminya untuk berangkat ke Hongkong. Demi sang anak. Demi mimpi Indah, demi hidup yang lebih baik.
Setelah 6 bulan training bahasa dan pelatihan keterampilan, Lestari terbang ke Hongkong dan mendapatkan pekerjaan sebagai caretaker (perawat orang sepuh). Majikannya sangat baik dan memberikan Lestari gaji yang memadai. Lestari selalu mengirim surat kepada Indah, menanyakan kabarnya dan sekolahnya. Indah selalu membaca surat ibunda tercintanya dengan tangis haru bercampur doa, ia berat berpisah dengan ibunya yang tegar itu, namun ia harus tegar pula demi ibu dan cita-citanya.
Setahun kemudian, orang tua yang dirawat lestari meninggal. Ia pun di transfer ke majikan baru. Kali ini, ia diperlakukan sangat buruk. Keluarga majikannya adalah keluarga besar dan ia harus melayani semua orang di keluarga itu, menyiapkan makanan mereka, mencuci baju mereka (pake tangan), menunggu rumah, dan tidak ada libur hari minggu. Ia diperlakukan sebagai pembantu, bukan lagi sebagai perawat. Dari 24 jam seharinya, hanya 5 jam yang bisa ia punya. 3 jam untuk tidur, sisanya untuk duduk sejenak dan melihat foto anaknya si Indah. Hanya Indah yang menguatkannya. Serikat Buruh tak terlalu membantunya. Daripada ia dikirim pulang, ia memilih bertahan di neraka itu hingga satu tahun hingga kontraknya habis.
2003, Lestari kembali ke tanah air. Indah dan bapaknya menjemput di bandara dan mereka berangkulan dengan berurai air mata. Lestari lega bisa melihat lagi Indah, anaknya dan binar semangat yang ada di matanya. mata itu, yang selalu menerbitkan semangat dan kekuatan. Indah senang bisa bersama lagi dengan ibu terkuat dan tertegarnya itu, meski ia tak tahu seberapa berat tahun terakhir yang dilalui ibunya.
Hongkong tak merubah Lestari lugu yang dulu. Ia tetap lugu, dan mudah ditipu. 2 tahun kemudian, Ia terbujuk oleh seorang penipu yang berdalih Bina Masyarakat mandiri, menawarkan program investasi yang melibatkan banyak industri, termasuk pertanian dan perkebunan. Ia investasikan semua hasil kerjanya di Hongkong untuk koperasi palsu itu dan setahun kemudian, koperasi itu tutup dan pemegang uangnya kabur entah kemana.
Lestari terduduk lunglai, membayangkan kerja kerasnya di Hongkong,  membayangkan mimpi Indah yang ikut sirna, dan membayangkan betapa bodohnya dia.
Indah sudah kelas 3 SMA. Ia masuk program IPA seperti mimpinya ketika SMP. Nilai terbaik tetap diraihnya. Tahun depan, ia ingin daftar SPMB untuk Fakultas Kedokteran. namun, ia tak berani bilang ke ibundanya, melihat musibah yang menimpanya.
Suatu malam, Lestari bertanya pada Indah, “Nduk, kamu masih pengen kuliah kan?. Dengan takut-takut, Indah menjawab, “Iya buk, Indah masih pengen jadi dokter anak. Tapi ndak usah aja ya buk, Indah kerja aja dulu.” Lestari tahu betul watak anaknya itu, dia anak yang sangat gigih dan pekerja keras, dan tidak mungkin ia mengecewakan dan menyia-nyiakan kecerdasan anak semata wayangnya itu. Cukuplah ia yang tamatan SMP. Cukuplah ia yang bodoh. Cukuplah keluarganya yang miskin. Indah harus pintar, Indah harus kuliah, dan Indah harus menjadi ibu yang cerdas dan tegar untuk anak-anaknya.
Indah diam-diam mendaftar SPMB tanpa sepengetahuan ibu dan bapaknya. ia tabung sedikit demi sedikit uang sakunya untuk membeli formulir SPMB dan ongkos bis ke kota. batinnya, coba-coba sajalah, semoga tidak lulus, biar tahun depan saja aku daftar. Dia pamitan ke ibunya untuk nginep di kosan Niah, sepupu Indah, anak dari kakak perempuan Lestari.
Di tanggal pengumuman kelulusan SPM, Indah mengajak Lestari ke kota. Dia bilang ingin minta sepatu baru. Lalu, di tengah jalan, ia membeli koran dan mencari pengumuman itu. jarinya menunjuk pada satu nama sembari bergetar. Ibunya yang tidak mengerti maksud anaknya itu bertanya, “Apa nduk?” “Iki jenengku buk.”
Lestari membaca judul pengumuman itu dan menyadari bahwa Indah diterima di universitas yang dia mimpikan. Ia pun memeluk putrinya dan bilang, “udah nduk, kamu kuliah saja. Ndak usah mikir biaya, biar ibu yang mikir.”
Semester pertama dilalui Indah dengan penuh prihatin. Ia memilih kosan yang paling murah dan rela puasa senin-kamis demi mengirit pengeluarannya. Ia menggenjot habis-habisan semangat belajarnya dan semester pertama ia ukur dengan IP 3.90.
Lestari semakin mantap untuk kembali ke Hongkong lagi. Indah harus jadi dokter, seperti yang sudah diimpikannya.
Hongkong tak lagi seperti dulu baginya, ia tak dapat pekerjaan sebagai caretaker lagi, namun sebagai petani buah. Ia bekerja di gunung, selama 2 tahun. Pagi-pagi sekali ia bangun dan mengusung ber sak-sak pupuk dan menyiangi rumput di area labih dari 2 hektar itu bersama beberapa kawannya. Lestari yang hanya punya sepetak kecil sawah pemberian ibunya, harus memaksa dirinya untuk kuat demi cita-cita Indah. Tak apalah ia kerjakan beban pekerjaan 2 lelaki dari pagi hingga petang non stop, hanya istirahat makan 2 kali dan tidak ada ijin istirahat sholat.
Lestari tak pernah memberi tahu Indah akan pekerjaannya di Hongkong. Ia jarang berkirim surat lagi, hanya sesekali menelepon Indah menanyakan kuliahnya. Indah mendapatkan beberapa beasiswa. Lestaripun semakin menguatkan tekadnya. Ia mengambil kontrak kerja 3 tahun sampai Indah lulus.
6 bulan sebelum kontraknya habis, Lestari dirundung musibah berturut-turut. Hasil panen yang menurun drastis membuatnya dihukum habis-habisan oleh majikannya, lalu ia ditinggal kabur oleh suaminya yang mabok janda, dan kepulangannya yang sulit sekali. Ia lewat 6 bulan dari kontrak resmi dan harus kucing-kucingan dengan polisi imigrasi. Sering ia harus membuat lubang sembunyi di tanah ketika petugas imigrasi memeriksa perkebunannya, karena tempat dia bekerja adalah lokasi berkumpulnya pekerja ilegal.
2008. tahun yang ia nanti-nantikan. Ia pulang sebulan sebelum kelulusan Indah sebagai dokter muda. Penat badan dan hatinya selama 3 tahun sirna seketika melihat anak satu-satunya tumbuh besar dan terlihat sangat dewasa dan cerdas. Meski ia akhirya menjanda, tapi cukup bahagia menghadiri pesta wisuda Indah. Tak henti-hentinya ia menangis bahagia karena Indah bisa lulus kuliah pertamanya, sebelumnya nanti melanjutkan ke spesialis.
2011. Lestari terduduk sendiri di rumahnya yang kini sepi. anak satu-satunya kuliah ke kota, dan suami satu-satunya pergi juga. Tapi Lestari yang tegar tak henti-hentinya bersyukur, karena mimpi anaknya terwujud, dan kehidupan yang lebih baik (yang dulu tak sempat ia nikmati) bisa ia wujudkan. Tinggal beberapa semester lagi sebelum gelar spesialis anak itu di sandang Indah.
*Lestari, salut atas perjuanganmu. Lindungi buruh Indonesia di luar negeri!

No comments:

Post a Comment

Masker Oksigen

photo from: Reader's Digest Akhir-akhir ini, saya terlibat pembicaraan yang lumayan mendalam dengan sahabat karib saya terkait deng...