August 9, 2011

Perangko




Teringat jaman-jaman SD, ketika masa-masa Sahabat Pena (pen pal) sedang booming-boomingnya. Rasanyanggak-gaul-banget-seh-lo kalau tidak punya sahabat pena dari kota lain. Majalah Bobo jadi trend setter pen pal ini. Inget banget dulu di sesi "Sahabat Pena" di majalah itu, ada 4-5 anak yang nulis surat ke Bobo, terus di akhir suratnya, mereka menulis alamat lengkap mereka, lengkap dengan kalimat penutup "kirim surat ke aku ya kawan. Mari bersahabat pena." Edisi berikutnya, diterbitkan surat balasan dari sahabat pena sebelumnya. Duh, karena uang saku tidak cukup untuk beli perangko yang antar kota, saya pun akhirnya mencari alternatif. Perangko dalam kota!


Novi, teman sekelas saya, menjadi jawara Sahabat Pena di sekolah karena dia punya sahabat pena dari kota. Saya? Sahabat pena saya bernama Sisi. Dia seumuran dengan saya dan tinggal di desa seberang. Paling tidak, surat saya harus diantar pak pos, so, officially saya sudah bersahabat pena. hehe. Di setiap suratnya, Sisi selalu menuliskan puisi tentang keindahan desanya yang banyak gunung, dan saya membalasnya dengan membuat puisi serupa tentang sungai-sungai indah dan sawah yang hijau. Seminggu tidak ada surat dari Sisi rasanya tidak enak makan dan tidur. Dan ketika saya tahu Sisi sakit parah (ketika saya berumur 10 tahun, Sisi mengalami kelumpuhan tiba-tiba), akhirnya saya memberanikan diri untuk menjenguknya. Dengan semangat 45, saya mengayuh sepeda saya sekitar 8 kilo dan menemui sahabat pena saya ini. Terakhir, kami pergi ke studio foto di samping rumah Sisi untuk mengabadikan pertemuan kami. (Maho banget nggak sih?)


Sejak masa-masa sahabat pena itu, saya jadi suka mengoleksi perangko. Walaupun tidak secanggih Novi yang punya album perangko sendiri, saya hanya menyimpan perangko-perangko saya di amplop besar berwarna cokelat bekas amplop paketan paman saya ketika saya juara 1. Terakhir, ketika saya kuliah, ada sekitar 200 perangko yang terkumpulkan. Tidak hanya dari Indonesia, tapi juga dari beberapa negara lain seperti Malaysia, Arab Saudi, Taiwan, dan Korea. Jangan tanya bagaimana saya mendapatkan perangko negara-negara asing itu. Tetangga-tetangga saya banyak yang jadi TKW ke negara-negara tersebut, dan keluarga mereka yang di Indonesia sering minta tolong saya untuk menuliskan surat dan membalaskan surat kepada mereka, lengkap dengan beberapa benda yang mereka paketkan.


Ndilalah kersaning Allah alias tanpa diduga dan dinyana, mbah saya yang super bersihan suatu hari mengkilokan buku-buku sekolah saya yang SMP dan SMA. Saya yang waktu itu sedang ngekos, tidak tahu menahu bahwa amplop cokelat itu juga terbawa oleh tukang loakan. Duh, tamatlah riwayat saya sebagai filatelis amatir. Pupus. Kandas.Perangko, Gue,  End!

*

Kemarin, saya bisa bertemu dengan perangko lagi. Bukan berkirim surat, tapi saya mengunjungi "rumah" nya. Saya mengunjungi museum perangko di kompleks TMII. Hanya bayar 2000 rupiah, saya puas melihat koleksi perangko dari masa ke masa. Jauh lebih banyak dari 200-an perangko saya yang terbuang oleh mbah. Jauh lebih lengkap, karena ada yang masih pecahan Sen.


Museum Perangko Indonesia
Museum Perangko Indonesia

Merpati pembawa surat
Merpati pembawa surat
Do you know?
Sebelum ada perangko, biaya pengiriman surat dikenakan kepada penerima surat. Lalu, karena penerima surat merasa keberatan (apalagi kalau pengirimnya bukan orang yang diharapkan), maka diciptakanlah perangko, sehingga biaya pengiriman dibebankan pada pengirim.

Museum ini seakan bercerita, bahwa perangko, benda kecil di pojok amplop ini memiliki sejarah dan makna yang jauh lebih besar dari ukurannya. Bayangkan sebelum ada perangko dan surat menyurat dengan kertas, penduduk jaman dulu berkirim surat dan pesan melalui daun lontar. Nggak kebayang kan, kalau misalnya salah tulis dan tidak ada Tip-X?


Sayapun melihat-lihat proses pembuatan perangko, serta perkembangan perangko dari waktu ke waktu. Dari yang monokrom, mono color, hingga full color seperti sekarang.

Teraan yang berfungsi sebagai tanda pengiriman
Teraan yang berfungsi sebagai tanda pengiriman

Proses desain perangko
Proses desain perangko

Mesin perangko 5 warna
Mesin perangko 5 warna


Bagi saya, perangko dengan edisi-edisinya yang selalu berganti, merekam sejarah bangsa.
Dari masa-masa penjajahan, kemerdekaan, lalu pembangunan-pembangunan. Masih jelas ingatan saya pada perangko yang bergambarkan Pelita (Pembangunan Lima Tahun) dari pancawarsa satu ke pancawarsa berikutnya. Uniknya, dia bisa menjangkau hampir semua lapisan masyarakat dari berbagai strata sosial, ekonomi, dan pendidikan. Di jaman ketika internet belum masuk desa, koran hanya konsumsi orang kaya, perangko pada masa itu seakan menjadi "poster berjalan" sejarah bangsa yang bisa diakses siapapun. Orang desa sampai orang  kota, yang melek huruf sampai yang buta huruf.

mp-sejarah-4



Lain dari negara lain yang mempunyai kestabilan nilai mata uang, perangko di Indonesia juga merekam penurunan nilai mata uang Rupiah kita, terlihat dengan harga perangko yang semakin mahal dari tahun ke tahun. Dari koleksi nenek Ratih, teman SMP saya, ada perangko tua yang harganya hanya setengah Sen. Lalu tahun berikutnya naik menjadi 1 sen, 2 sen, 25 sen, 50 sen, 1 Rupiah, dan seterusnya. Yang paling anyar tahun ini, perangko termurah berharga 2000 rupiah. Ada juga perangko yang serial Harry Potter, yang dipatok 50.000 per buah.


Selain itu, perangko berfungsi juga sebagai galeri keragaman bangsa.
Masih di jaman SD, saya punya koleksi lengkap perangko tentang tari-tarian daerah. Di museum ini, ada satu sudut di mana pengunjung dapat melihat edisi-edisi khusus perangko yang menggambarkan keragaman alam dan budaya Indonesia. Ada yang edisi bunga, edisi hewan khas Indonesia, tanaman-tanaman langka di Indonesia, serta nama-nama kesenian daerah. Bagi mereka yang tinggal di daerah terpencil yang belum bisa mengakses TV atau koran, tentu perangko ini sangat memperkaya khasanah mereka akan kekayaan budaya dan alam di wilayah lain di Indonesia yang belum pernah mereka lihat.


Suatu saat, perangko, sama seperti surat konvensional akan ditinggalkan. Sudah ada email yang gratis tanpa harus beli perangko, dan tak juga perlu menghitung hari. Atau SMS yang berbayar tapi sangat praktis yang juga sudah bisa diakses hampir semua orang. Tapi lagi-lagi, teknologi tersebut kadang mengikis dalamnya perasaan emosional yang bisa dihadirkan oleh surat dan perangko konvensional. Folder email, bagi beberapa orang, mungkin masih belum bisa menggantikan harumnya kertas surat bergambar bunga serta tulisan indah dari cinta monyetnya dulu, yang disimpan dengan rapih di peti kayu. Indahnya font email, mungkin masih belum bisa menggantikan goresan tinta khas serta lekukan huruf yang ditulis tangan. Kabar baik melalui email, mungkin masih belum bisa menggantikan perasaan deg-degan bercampur harap harap cemas seorang gadis yang sedang menunggu surat balasan dari kekasihnya. Dan tidak ada yang bisa menggantikan perasaan bangga seorang anak yang sedang meletakkan koleksi perangkonya yang ke sekian ratus di dalam album filatelinya.


Ah, kadang saya ingin sesekali mendapat surat yang seperti itu.


Museum, buku dan hidup, selalu menarik perhatian saya. Masing-masing dari mereka seperti untaian benang yang disulam menjadi sebuah baju hangat. Dan kisah kita yang sekarang, adalah sulaman hidup yang ke-sekian yang tak bisa terlepas dari sulaman-sulaman sebelumnya. Maka saya melihat ke belakang untuk lebih mengenali apa yang ada di depan saya, karena suatu waktu, saya akan menjadi yang terdahulu. Seperti perangko ini. Ditemukan, berkembang, lalu menjadi sejarah. Pada akhirnya, yang tertinggal hanyalah kisah. Dan saya ingin saya ingin tetap dikenang. Perangko meninggalkan kertas. Dan saya ingin meninggalkan ide lewat tulisan.


Tabik.

2 comments:

  1. hwah jadi inget perangko-perangkoku di rumah :) aku dulu juga suka bersapen gitu hihi

    ReplyDelete
  2. wah, punyaku udah ilang mbak.. dikiloin sama mbah, karena aku belum sempat belikan album..

    ReplyDelete

Masker Oksigen

photo from: Reader's Digest Akhir-akhir ini, saya terlibat pembicaraan yang lumayan mendalam dengan sahabat karib saya terkait deng...