August 21, 2011

Exclusive "Date" with God




"Akhirnya nemu juga masjid yang bisa digunakan untuk I'tikaf", ujar salah seorang sahabat yang selama semingguan ini mencari-cari masjid yang memenuhi syarat untuk dijadikan tempatnya ber-i'tikaf.

Umat muslim menyebutnya I'tikaf, turunan kata dalam Bahasa Arab لاعْتِكاف yang berarti "memenjarakan", yang kemudian diartikan sebagai "mengasingkan diri (berdiam diri di masjid) untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan (Allah), serta menjauhkan diri dari kerutinan kegiatan sehari-hari.
Saya jadi teringat sebuah kitab Zaadul Maád karangan Ibn Al-Qayyim, yang berbunyi:

Hati yang keruh tidak dapat disatukan kecuali dengan menghadap kepada Allah, padahal (kegiatan manusia banyak yang memperkeruh hati seperti) makan dan minum secara berlebih, terlalu sering bergaul dengan manusia, serta banyak bicara dan tidur. (Semua hal itu) memporakporandakan hati, memutus, atau melemahkan, atau mengganggu dan menghentikan hati dari berjalan kepada Allah.

Maka rahmat Allah kepada hamba-Nya menuntut pensyari’atan puasa untuk mereka yang mampu mengikis makan dan minum yang berlebih serta mengosongkan hati dari campuran syahwat yang menghalangi jalan kepada Allah. Allah mensyariatkannya sesuai dengan kadar kemaslahatan yang dapat bermanfaat bagi hamba di dunia dan akhirat. Namun, tidak merugikan dan memutus kemaslahatan dunia dan akhiratnya.

Demikian pula, Allah mensyariatkan i’tikaf bagi mereka yang bertujuan agar hati dan kekuatannya fokus untuk beribadah kepada-Nya, berkhalwat dengan-Nya, memutus diri dari kesibukan dengan makhluk dan hanya sibuk menghadap kepada-Nya. Sehingga, berdzikir, kecintaan, dan menghadap kepada-Nya menjadi ganti semua faktor yang mampu memperkeruh hati. Begitupula, kesedihan dan kekeruhan hati justru akan akan terhapus dengan mengingat-Nya dan berfikir bagaimana cara untuk meraih ridha-Nya dan bagaimana melakukan amalan yang mampu mendekatkan diri kepada-Nya. Berkhalwat dengan-Nya menjadi ganti dari kelembutannya terhadap makhluk, yang menyebabkan dia berbuat demikian adalah karena (mengharapkan) kelembutan-Nya pada hari yang mengerikan di alam kubur, tatkala tidak ada lagi yang mampu berbuat lembut kepadanya dan tidak ada lagi yang mampu menolong (dirinya) selain Allah. Inilah maksud dari i’tikaf yang agung itu.“

Kawan saya tadi, mulai hari ini memulai i'tikafnya di masjid dekat rumahnya, dengan mahram yang menemani, yang berada di ruangan lain. Ia berniat untuk melakukan full-day i'tikaf, sehingga ia menginap di masjid. Rupa-rupa barang sudah ia bawa dari rumah, mulai mushaf Qur'an, pakaian ganti, mukenah, alat mandi, kitab-kitab, buku catatan, dan juga pulpen. Ia berniat untuk memperbanyak shalat, dzikir, muhasabah (introspeksi), dan mencatat ilmu yang ia peroleh sembari ia mengaji Qur'an. Beberapa kawan yang lain melakukan half-time i'tikaf, mulai ba'da subuh sampai maghrib, dan mengerjakan hal yang sama.


Sebuah komitmen yang saya anggap sangat berat untuk dilaksanakan. Di 10 terakhir Ramadhan, adalah waktu "kritis" bagi siapa saja. Ada yang sibuk menyiapkan mudik, ada yang sibuk menyiapkan kue lebaran, ada yang sibuk belanja, ada yang sibuk mencari baju, ada yang sibuk menyusun keuangan, ada yang sibuk ngabuburit dan buka puasa bersama. Semua kegiatan itu seakan mau tak mau menyita perhatian. dan waktu.


Meskipun demikian, saya menjadi luar biasa tertarik dengan konsep i'tikaf ini. Bayangkan, jika dalam beberapa hari saja, kita meninggalkan sejenak segala fasilitas duniawi dan kegiatan materialisme kita. Saya dan anda akan meninggalkan laptop dan internetnya, TV, kamera, HP, musik, kasur empuk, supermarket, dan bioskop. Dan kita mengkhususkan beberapa hari itu untuk tidak bergunjing, menggosip, mengeluh, memprotes, menghina, melucu, atau menelpon.


Sebagai gantinya, anda dan saya akan duduk bertafakkur, menjadi diri yang bukan apa-apa, bukan siapa-siapa. Kita "nyepi" dan nge-date dengan Tuhan secara lebih intens dari hubungan kita denganNya sehari-hari. Kita bukan lagi pegawai nomer wahid di kantor, kita bukan lagi mahasiswa teladan, kita bukan lagi aktivis lingkungan, kita bukan lagi anak kebanggaan mama. Kita hanyalah diri kita tanpa atribut apa-apa yang disematkan dunia. Dan kita pun akan memasuki keadaan eling akan hakikat dan tujuan hidup kita di muka bumi ini sekaligus eling akan Tuhan yang selalu dekat, namun kita yang enggan mendekat.
Lalu kita mulai menghitung. Dan bertanya.


Apa yang sudah kita kerjakan selama setahun terakhir, benar atau tidak di mata Tuhan? Apakah ia bermanfaat atau bahkan merugikan orang lain? Sudahkah target ibadah tahun ini tercapai? Untuk apa aku diciptakan? Apa yang Tuhan inginkan dariku? Apa yang harus kulakukan selanjutnya? Apakah aku menjadi lebih baik di Ramadhan ini daripada Ramadhan sebelumnya?


Lalu setelah 10 hari terakhir itu, betapa kita akan merasa baru dan bersih. Seperti cermin yang baru dilap debunya. Seperti batre yang baru dicharge. Seperti baju kumuh yang dicuci bersih. Seperti mata hati (yang buram oleh obsesi, iri, dengki, tamak, bangga, jumawa) yang dibersihkan lensanya sehingga kini ia melihat lebih jernih. Lalu kesadaran diri atau eling tadi membawa kita untuk membaca kembali "SOP (Standard Operating Procedure)" yang Tuhan rumuskan untuk peran fungsi kita terhadap diri, masyarakat, lingkungan, keluarga, dan Dia.


Betapa efeknya akan jauh lebih besar dan dalam, ketimbang meniup terompet sebagai pergantian tahun baru, atau menulis resolusi-resolusi di malam 1 Januari.

Tertarik?

No comments:

Post a Comment

Masker Oksigen

photo from: Reader's Digest Akhir-akhir ini, saya terlibat pembicaraan yang lumayan mendalam dengan sahabat karib saya terkait deng...