August 3, 2017

Survival and Development



Menjelang bulan Juli, pikiran sudah sangat gusar, sebab yang dinanti-nanti belum datang juga. Yang dinanti adalah uang beasiswa. Sebagai penerima beasiswa dari pemerintah RI, kebiasaan telat adalah sebuah kebenaran yang jamak. Meskipun studi S3 saya dimulai pada Juli 2016, nyatanya beasiswa turun pada September 2016. Beberapa bulan harus bertahan dengan uang sendiri. Tahun lalu, hasil kerja setahunlah yang digunakan untuk pre-finance 3 bulan. Benar saja, standar living cost di Adelaide per bulannya 17.500.000, yang mana bisa 3-4 kali gaji per bulan di Indonesia.

Tahun ini keadaan finansial sedang diuji. Dikarenakan status saya sebagai dosen tetap non PNS yang sedang tugas belajar, saya tidak mendapatkan gaji sama sekali dari kampus asal saya. Sehingga biaya ini itu per bulan hanya mengandalkan uang beasiswa. Dalam kondisi saya sedang field study seperti 6 bulan ini, ketiadaan uang beasiswa menjadi tantangan tersendiri. Strategi saya adalah: menunggak bayar tuition fee sebesar AUD 5,800-an atau sekitar 58 juta rupiah. Uang itulah yang saya pakai untuk membiayai riset saya selama 6 bulan termasuk honor partisipan, souvenir, asisten lapangan, biaya transkripsi wawancara, akomodasi dan transportasi, dan lain-lain. Tak ketinggalan, pengeluaran biaya hidup pribadi selama di Indonesia.

Tak ayal, saya saat ini termasuk dalam golongan "survival" yang dalam piramida Maslow ada pada piramida terbawah. Yah, mau tidak mau harus dihadapi, maka hajarlah! Saya selalu berdoa kepada Tuhan agar Ia membukakan jalan rejeki kendatipun saya tidak mengajar, rejeki lewat jalan lain! Saya mencari atau kadang ditawari kerjaan freelance: menjadi penerjemah, proofreader, penelaah buku, atau bahkan menjadi tutor. Sedikit demi sedikit, alhamdulillah bisa sedikit meringankan beban.

Dalam situasi survival seperti ini, saya jadi sedikit memikirkan tentang development. Misal: mengirimkan paper untuk konferens, ikut grant bersaing, dan sebagainya. Saya merasa pikiran sudah dipenuhi dengan "cari kerjaan apa lagi ya?". Duduk tenang lalu merangkai ide serasa sebuah privilege yang tidak bisa saya jangkau.

Seorang kawan yang juga saya anggap guru (saat ini sudah professor) menenangkan saya bahwa "ini adalah tahapan pahit yang perlu dilalui. Menjadi doktor bukan hanya menguji ketajaman pikir, namun juga kekuatan batin dan mental. Anggap saja ini exile (pengasingan) yang justu melejitkan potensi diri yang terdalam. Dalam keterbatasan, kita justru akan berfokus pada yang esensial dan urgent"

Nyess sekali. Semangat saya terlejit kembali! Ah kenapa pula saya lebay dan melow. Padahal dulu saja waktu kuliah S-2, saya bisa melakukan 3 hal sekaligus, menjadi housewife, guru kursus, dan mahasiswa S-2 di waktu yang bersamaan. Gaji dari kursus selama 5 bulan dipakai untuk bayar SPP satu semester. Pagi menyiapkan kebutuhan suami dan pekerjaan rumah lainnya, siang istirahat dan menyiapkan bahan ajar, sore mengajar smpai maghrib, dan malam (setelah menyiapkan makan malam dan beres-beres) diteruskan dengan belajar untuk materi kuliah dan tesis.

Saya pasti bisa! Dengan manajemen waktu yang baik, saya pasti bisa survival secara finansial dan juga survival secara akademis. Mudah-mudahan malah bisa ke level selanjutnya yaitu development, Amiin!

My last words, development tidak mutlak mensyaratkan ketercukupan dalam semua aspek. Meskipun dalam keterbatasan, diri kita bisa tetap melejit. Sabar, doa, usaha, manajemen waktu energi yang baik, dan jangan lupa tawakkal. Terakhir, carilah teman-teman baik yang senantiasa bersemangat positif :)

Salam semangat!


No comments:

Post a Comment

Masker Oksigen

photo from: Reader's Digest Akhir-akhir ini, saya terlibat pembicaraan yang lumayan mendalam dengan sahabat karib saya terkait deng...