May 15, 2011

GURU


Dulu aku benci padamu dulu aku memang benci..

Aku benci saat pertama kita bertemu, guru. Aku terkantuk-kantuk di deret terdepan dan kau mengeksekusiku dengan sebuah usiran indah. "Silvia! Sleep at your home, not in my class!" Kau bahkan tidak mengindahkan pledoi ku yang menjelaskan bahwa aku menderita insomnia, dan aku sangat ingin mengikuti kelasmu, guru. Kau bahkan tidak menghargai jerih payahku untuk datang ke kelasmu, karena aku ingin tahu, meski kantuk setiap hari menyerangku. Kau tidak mengindahkan semangatku, yang selalu duduk di deret depan sendirian, karena kawan yang lain lebih memilih di deret belakang, agar tak terlihat meski mereka tertidur dengan suaramu yang mendayu. Aku benci saat aku akhirnya menuruti perintahmu, dan pulang ke tempat kos dengan menangis.


Kau terlalu kaku, guru. Kau bahkan menghukum seluruh kelas yang berisi 43 mahasiswa dari 3 angkatan, hanya karena satu pertanyaan polosku "Is all homonym belong to polysemy?" Dan akhirnya aku berakhir di ruanganmu dengan debat kusir kita, dan kau mengaku kalah.

Tidak ada satu mahasiswa pun yang memfavoritkanmu, guru. Tapi aku selalu mengagumimu. Sayang, kau hanya melihatku dari sisi jahilku. Kau mempermasalahkan celana pensilku, kau mengkritik suaraku yang telalu lantang, kau bilang aku tidak sopan, kau bilang aku harus belajar behave. Dan aku tidak pernah menyerah, guru.


Setahun kemudian, kau terperanjat melihatku dengan penampakan baruku. Jangan ge-er guru, aku tidak melakukannya untukmu. Aku hanya sedang tumbuh dan belajar menjadi dewasa. Aku hanya mengikuti agama. Kau, dengan gaya sinismu berujar "You look better that way. I hope the other girls will follow the way you dress."


Lalu aku nekat memintamu menjadi pembimbing skripsiku, meski bagi mahasiswa lain, kau adalah pilihan terakhir mereka. Mereka bilang kau killer, kau pedas, kau sinis, terlalu lama, dan terlalu detail. Tapi aku tak peduli, aku hanya butuh ilmumu.


Meski pertama-tama kau 'memuji' tulisanku "Don't write a thesis as if you write a disertation. Nulis yang biasa aja, jangan muluk-muluk." Lalu kau mencoret hampir satu halaman dari tulisanku karena beberapa kesalahan grammatikal tanpa ampun bahwa menulis skripsi dalam bahasa Inggris adalah kutukan?


**
Begitulah awal pergulatan akademis saya dengan sang guru. Meskipun penuh dengan ke "mrongkol"an hati saya, pada akhirnya justru saya belajar banyak hal dari sang guru. We learn from everything, and sometimes unpleasant experiences taught us more, isn't it? Kadang pengalaman yang dulu sekali saya rasa kurang menyenangkan, justru mengajarkan banyak hal berharga, yang, mungkin, kalau saya tidak mengalaminya, saya tidak akan bisa seperti kini.
Hubungan akademis kami membaik ketika sang guru menjadi pembimbing skripsi saya. Guru S yang sangat agamis ini, somehow, membuat saya sedikit filosofis. Perdebatan masih sering terjadi, sampai saya harus membuat mahasiswa bimbingan beliau menunggu 2 jam untuk satu sesi konsultasi skripsi saya. Dan sang guru dengan sangat sabar, membaca satu per satu kata, mengoreksi ejaan, mengoreksi diksi, kata penghubung, dan bahkan tanda baca.
Pelajaran moral kedua: jangan maju bimbingan sebelum edit puluhan kali tulisan anda!
Ternyata kami punya kesamaan subject of interest. Beliau pernah meneliti satu bagian dari penelitian saya sewaktu beliau kuliah di Aussie. Dan, begitu menyenangkannya tatkala kami berdiskusi tentang pokok bahasan itu. We are like old friends. Dan sampai skripsi saya rampung, sang guru masih sangat antusias untuk mengajak diskusi.
Dari bisik-bisik mahasiswa bimbingan beliau yang lain, beliau kini menjadi lebih "cair" dalam membimbing mahasiswanya. Dan, banyak yang beralih ke beliau karena koreksinya yang sangat teliti dan komprehensif.
Pesan beliau terakhir sebelum saya lulus adalah:
"You shouldn't stop at this point, you have to continue your research in your next study. I believe you can make it."
**

Hampir setahun setelah saya tidak bertemu dengan sang guru, lalu tiba-tiba saya begitu merindukannya, academically. Beliau sering mempertanyakan tulisan saya, dan, meski diawalnya beliau tidak yakin akan reliabilitasnya (lagi-lagi, karena dulunya saya dianggap slenge'an), tapi pada akhirnya beliau memahami ide saya.


Guru juga selalu mengajarkan saya, untuk selalu berdoa, sholat malam, dan puasa sunnah. Agar ilmu itu lebih mudah masuk. Beliau menggambarkan, iman itu ibarat cahaya. Ilmu tanpa iman bagaikan berjalan tanpa cahaya, kita tidak tau kemana arah dan manfaatnya. Sedangkan ilmu dengan iman, bagaikan berjalan dengan cahaya. Jelas arah dan manfaatnya.

**

Dan kini, saya kembali angkat pena untuk riset. Ekstensi dari riset skripsi saya. Segala pengalaman yang dulunya tidak mengenakkan, sirna begitu saja tatkala saya sadar, dibalik itu semua, guru mengajarkan lebih banyak hal. Lebih dari bimbingan skripsi saya. Lebih dari nilai saya. Namun lebih pada nilai saya, sebagai manusia. Untuk menjadi manusia yang santun, on time, rendah hati, teliti, akademis, dan agamis.

Guru, salam hormat untukmu.

No comments:

Post a Comment

Masker Oksigen

photo from: Reader's Digest Akhir-akhir ini, saya terlibat pembicaraan yang lumayan mendalam dengan sahabat karib saya terkait deng...