November 1, 2018

Memantul

Bulan ini adalah bulan yang berat bagi saya. Saya memasuki tahun ketiga studi doktoral saya di Australia dan memasuki fase penulisan disertasi. Seharusnya sih, semuanya bisa agak lebih lancar, mengingat data analisis sudah terlampaui, coding sudah selesai, outline disertasi sudah sesuai hasil analisis, dan seterusnya.

Dua tahun bergelut dengan satu hal yakni riset dan disertasi, membuat saya merasa terasing dengan identitas saya sebelum studi, yakni pengajar di kampus. Bagaimana tidak, dua tahun penuh meninggalkan segala dinamika mengajar, meneliti, mengabdi pada masyarakat demi studi S-3 ini.

Harusnya, simpel, mudah dan cepat, kan? Toh saya di Australia tinggal sendiri. Ternyata tidak.

Ada sisi non akademis yang menantang, yang membuat diri menjadi sangat ragu dan kecil hati. Namanya, impostor syndrome. Sindrom ini kurang lebih artinya adalah kondisi psikologis dimana seseorang merasa kurang layak mencapai sesuatu, merasa kurang atau bahkan tidak mampu melakukan pencapaian tertentu.

Studi S-3 biasanya berlangsung hingga empat tahun. Namun, saya membuat target pribadi untuk bisa submit pada akhir tahun ke-3 yakni Juli 2019. Di tengah perjalanan ini, tiba-tiba ada perasaan yang mengganjal yang dipicu oleh sebuah obrolan dengan  mentor saya yang ndilalah sudah profesor duluan.

Suatu saat kami mengobrol di telepon, ya saya biasa lah curhat masalah pembimbing saya, lalu membahas substansi bahasan disertasi saya. Di tengah percakapan, beliau menanyakan beberapa pertanyaan yang belum bisa saya jawab - terkait apa pentingnya dan distingtifnya disertasi saya ini nantinya.

Obrolan tersebut beralih ke hal lain terkait kondisi di tanah air. Namun, saya tidak bisa tidur setelahnya. Berbagai pertanyaan menggelayut di kepala: bagaimana jika ternyata riset saya ini tidak menyumbangkan signifikansi apa-apa pada teori terkini? bagaimana jika ternyata bab demi bab yang saya susun ini kurang bisa membunyikan argumen pokok dari disertasi?

Semakin lama, pertanyaan-pertanyaan ini semakin menukik. Bagaimana jika ternyata saya tidak bisa menjadi scholar atau akademisi yang mumpuni? Bagaimana jika ternyata saya nantinya tidak bisa sekelas/sepadan dengan sosok-sosok mentor yang saya kagumi sejak S-1 dulu? Bagaimana jika saya nantinya hanya akan jadi medioker?

Perasaan tidak nyaman ini berlangsung seharian, hingga saya memaksakan diri untuk pergi ke graduate office dimana para mahasiswa S-3 punya work station nya masing-masing. Saya masih merasa down dari obrolan semalam. Saya duduk saja, membaca-baca jurnal ilmiah yang berasa seperti tulisan mati, mengetik-ketik apa saja yang bisa saya ketik, mereview satu paper yang kawan saya kirimkan siang tadi untuk tugas akhir Masternya, dan tentunya, membalasi whatsapp dari keluarga di Indonesia.

Saya berkata dalam hati "Gusti Allah.. Hamba yakin kalau hamba bisa melewati ujian studi ini. Mohon sabarkan hamba dalam prosesnya. If you put me to it, you will put me through it"

Saya panjatkan istighfar sebanyak-banyaknya, memohon ampun jika saya dzalim terhadap diri sendiri dengan overthinking, saya memohon ampun jika saya banyak menggunakan waktu untuk hal-hal yang kurang relevan dengan studi, saya memohon ampun jika saya kurang bersyukur dengan progress disertasi meskipun sepertinya melambat.

Lalu saya panjatkan Hamdalah sebanyak-banyaknya, mengingat nikmat-nikmat yang sudah saya nikmati namun banyak yang tidak disadari dan dimaknai. Nikmat waktu luang untuk belajar dan berjejaring, nikmat ruang belajar yang bisa dimanfaatkan kapan saja, nikmat fasilitas kampus dan perpustakaan daring yang tak terbatas, nikmat sendirian sehingga harusnya bisa lebih fokus dan minim distraksi.

Akhirnya, saya panjatkan Allaahuakbar sebanyak-banyaknya, menyadari betapa kecilnya pengetahuan saya akan ilmu yang maha luas, betapa kecilnya saya di antara ribuan jutaan ilmuwan di luar sana yang lebih mumpuni dari saya, betapa kecilnya keahlian saya dibandingkan dengan profesor-profesor lain di belahan bumi lain. Saya merasa kecil, saya merasa bodoh. Sehingga saya harus belajar, saya harus terus meneliti. Agar saya tidak terus-terusan bodoh.

Sebelum waktu maghrib, handphone saya bergetar. Sebuah pesan Whatsapp masuk dari seorang profesor yang saya kenal baik di Malaysia. Beliau ini juga leading editor dari sebuah jurnal ilmiah yang terindeks Scopus.

Pesan Whatsapp tersebut singkat dan padat, diawali dengan menanyakan kabar, kapan saya selesai kuliah, dan apakah saya berminat untuk mengirim artikel ke jurnal yang dia kelola, dengan fasilitas fast track alias dibantu dipercepat.

Saya ndrodog. Saya terharu. Saya lemes. Dan saya berbisik "Gusti..Panjenengan maha baik. Saya baru sedikit merasa down, Panjenengan sudah naikkan lagi dengan cepat."

Hari ini, saya terselamatkan oleh tawaran baik ini. Semoga saya bisa menyiapkan naskah dalam jangka waktu satu bulan ke depan.

It is okay to fall down. But when you fall, bounce back.

No comments:

Post a Comment

Masker Oksigen

photo from: Reader's Digest Akhir-akhir ini, saya terlibat pembicaraan yang lumayan mendalam dengan sahabat karib saya terkait deng...