![]() |
sumber: startupsmagazine.co.uk |
Tahun 2025 yang baru berjalan tiga bulan beberapa hari ini, menjadi tahun revealing bagi saya dan anak bungsu. Beberapa bulan sebelumnya di akhir 2024, anak laki-laki yang saat itu berusia 4 tahun, terdiagnosa berada pada Autism Spectrum Disorder (ASD) setelah beberapa bulan menjalani terapi wicara, sensori integrasi dan terapi perilaku. Diagnosa yang membuat perasaan menjadi nano-nano: lega (karena akhirnya memiliki pengetahuan tentang kondisi uniknya), sedih (karena harus menerima anakku mungkin akan mengambil pathway perkembangan yang berbeda dengan teman sebayanya), guilty (karena merasa kurang menjadi ibu yang baik untuk memantik aspek bahasa dan kognisinya) dan tentu saja khawatir (memikirkan bagaimana ia nanti bertumbuh dewasa, memulai relasi sosial dan romantis, dan kemudian membentuk keluarganya sendiri. Bahkan saya kawatir - apakah ia bisa menikah dan membangun keluarga?).
Di sisi lain, diagnosa ini tidak terlalu mengagetkan. Ada beberapa penciri khas ASD yang saya amati sejak dia berumur 1 tahunan. Terlahir selama pandemi Covid-19, anak ini jadi bisa punya bapak dan ibu yang hampir tiap hari di rumah. Saya yang saat itu juga dalam fase disertasi secara jarak jauh Bintaro-Adelaide, jadi punya kesempatan intensif untuk membersamai dan mengobservasinya secara konstan. Si anak merangkak hanya beberapa hari saja, dia skip ke merambat, lalu berdiri. Setelah dia berdiri, dia mulai bisa berjalan. Tak lama dari bisa berjalan, dia langsung lari. Tiap fase yang harusnya dilalui dengan "cukup waktu" rupanya hanya berlangsung secara sangat singkat.
Ciri kedua di anak spesial ini adalah: dia suka berputar-putar/ memutar badannya tanpa oleng. Matanya melirik ke samping, yang kemudian kutahu istilahnya, ia sedang mencari vestibular sensory input. Alih-alih terlihat pusing/oleng setelah berputar-putar, ia justru terlihat begitu bahagia.
Ciri ketiga adalah, dia suka susun mainan yang sejenis menjadi barisan memanjang (berjejer). Entah itu bola, mobil-mobilan, balok. Ciri keempat, dia tidak langsung menoleh ketika dipanggil namanya. Ciri yang lain adalah dia rigid terkait waktu dan kebiasaan. Tak jarang dia menarik tanganku ketika jam tidur sudah tiba dan waktunya naik ke kamar.
Dari yang saya baca, neurodivergence pada anak sebagian besar adalah faktor genetik dan sebagian lagi adalah faktor lingkungan, maka terbitlah ingin untuk mengambil tes. Saya sadar ada beberapa "kebiasaan bawaan" yang sepertinya memang bawaan orok, tapi lumayan meresahkan. Misal: overplanning, agak OCD, senang dengan kepadatan jadwal dan bingung ketika nganggur/santai, susah fokus namun kadang malah hyper focus, susah tidur malam, dst.
![]() |
sumber: UCLA Health |
Akhirnya jadi maklum sekarang, kenapa dari zaman sekolah (SD-SMA-S1-S2-S3) saya tidak pernah sekolah yang cuma sekolah. Padat ekskul, padat les, padat gerak. Di saat teman-teman sekolah sepantaran pada malas dan kecapekan karena ikut les ini itu, saya malah bahagia betul saat itu. Selama S1 di Jember juga, selain kuliah, saya juga ikut UKM Bahasa Inggris, ngajar privat Bahasa Inggris, jadi asisten dosen, dan jadi tutor di tempat kursus. Pulang ngajar bisa sampai jam 8 malam, masih berlanjut belajar/ nongkrong sama teman dan baru tidur di tengah malam. Alih-alih merasa kewalahan, saya malah bahagia betul, seperti baterai yang full. S2 saya tempuh sembari mengajar di lembaga bahasa yang franchisenya ada di kota-kota besar di Indonesia, dan juga sembari mengajar priva untuk Bahasa Inggris. S3 apalagi..ya kuliah, ya riset, ya ikut seminar dan workshop, ya publikasi ilmiah, ya ikut komunitas riset dia dua fakultas (fakultas bahasa dan fakultas pendidikan), ya jadi tutor untuk mahasiswa S1, ya ikutan komunitas pelajar Indonesia di Australia, ya ikut pengajian, ya ikut komunitas sastra, ya bersosialisasi dengan berkawan dengan mahasiswa lokal.
Knowing is power
Bagi saya, mengetahui kondisi diri adalah hal paling dasar dalam self-love. Termasuk ketika saya jadi tahu kalau saya ADHD, saya jadi bisa menyesuaikan diri dan bisa melakukan effort agar saya tetap bisa perform optimal di berbagai bidang tanggung jawab saya: pekerjaan, keluarga, relasi dengan suami, relasi dengan anak, relasi dengan orang tua saya.
Sejauh ini, ADHD saya tidak menjadi penghalang hidup saya. Justru mungkin, karena ADHDlah saya bisa meraih beberapa hal dalam hidup dalam waktu yang bersamaan. Tentu saja, neurodivergence apapun nama dan jenisnya, selalu ada downside nya. Saya memilih untuk mempelajari apa yang bisa saya improve agar downside/tantangan dari kondisi ini bisa menjadi potensi (ketimbang ancaman) bagi kehidupan saya ke depan. Misalnya:
Karena saya tahu saya pelupa, maka saya jadi rajin mencatat.
Karena otak saya bisa mudah terdistraksi, maka saya jadi belajar teknik Pomodoro.
Karena otak saya butuh lebih banyak dopamin, maka saya jadi cari sumber dopamin alami (misal: berjalan di alam, olahraga, bergerak, menyelesaikan tugas, dll)
Ibarat kata, kalau saya sudah tahu saya punya tingkat asam urat tinggi, maka saya akan menjaga pola makan saya agar tidak mentrigger AU untuk naik, saya akan banyak minum air putih, banyak gerak fisik, minum obat penurun AU, minum jus celery, dll.
Demikian juga kalau saya dah tahu saya ADHD. saya jadi rajin bikin to-do list, saya jadi belajar dan menggunakan Pomodoro. saya jadi aktif bergerak dan beraktivitas setiap hari, dan saya terus mengisi dosis dopamin saya dengan belajar hal-hal baru yang menarik.
Well..
Saya panggil tahun 2025 ini sebagai tahun ketersibakan (revealing year). Saya bersyukur dengan God-made neuron yang dianugerahkan kepada saya dan si bungsu. Kondisi neurodivergence tidak dapat disembuhkan, namun kita bisa melatih diri untuk bisa perform seperti teman sebaya kita atau bahkan melampauinya.