April 5, 2025

2025: TAHUN NEURODIVERGENT


sumber: startupsmagazine.co.uk 

Tahun 2025 yang baru berjalan tiga bulan beberapa hari ini, menjadi tahun revealing bagi saya dan anak bungsu. Beberapa bulan sebelumnya di akhir 2024, anak laki-laki yang saat itu berusia 4 tahun, terdiagnosa berada pada Autism Spectrum Disorder (ASD) setelah beberapa bulan menjalani terapi wicara, sensori integrasi dan terapi perilaku. Diagnosa yang membuat perasaan menjadi nano-nano: lega (karena akhirnya memiliki pengetahuan tentang kondisi uniknya), sedih (karena harus menerima anakku mungkin akan mengambil pathway perkembangan yang berbeda dengan teman sebayanya), guilty (karena merasa kurang menjadi ibu yang baik untuk memantik aspek bahasa dan kognisinya) dan tentu saja khawatir (memikirkan bagaimana ia nanti bertumbuh dewasa, memulai relasi sosial dan romantis, dan kemudian membentuk keluarganya sendiri. Bahkan saya kawatir - apakah ia bisa menikah dan membangun keluarga?). 

Di sisi lain, diagnosa ini tidak terlalu mengagetkan. Ada beberapa penciri khas ASD yang saya amati sejak dia berumur 1 tahunan. Terlahir selama pandemi Covid-19, anak ini jadi bisa punya bapak dan ibu yang hampir tiap hari di rumah. Saya yang saat itu juga dalam fase disertasi secara jarak jauh Bintaro-Adelaide, jadi punya kesempatan intensif untuk membersamai dan mengobservasinya secara konstan. Si anak merangkak hanya beberapa hari saja, dia skip ke merambat, lalu berdiri. Setelah dia berdiri, dia mulai bisa berjalan. Tak lama dari bisa berjalan, dia langsung lari. Tiap fase yang harusnya dilalui dengan "cukup waktu" rupanya hanya berlangsung secara sangat singkat. 

Ciri kedua di anak spesial ini adalah: dia suka berputar-putar/ memutar badannya tanpa oleng. Matanya melirik ke samping, yang kemudian kutahu istilahnya, ia sedang mencari vestibular sensory input. Alih-alih terlihat pusing/oleng setelah berputar-putar, ia justru terlihat begitu bahagia. 

Ciri ketiga adalah, dia suka susun mainan yang sejenis menjadi barisan memanjang (berjejer). Entah itu bola, mobil-mobilan, balok. Ciri keempat, dia tidak langsung menoleh ketika dipanggil namanya. Ciri yang lain adalah dia rigid terkait waktu dan kebiasaan. Tak jarang dia menarik tanganku ketika jam tidur sudah tiba dan waktunya naik ke kamar. 

Dari yang saya baca, neurodivergence pada anak sebagian besar adalah faktor genetik dan sebagian lagi adalah faktor lingkungan, maka terbitlah ingin untuk mengambil tes. Saya sadar ada beberapa "kebiasaan bawaan" yang sepertinya memang bawaan orok, tapi lumayan meresahkan. Misal: overplanning, agak OCD, senang dengan kepadatan jadwal dan bingung ketika nganggur/santai, susah fokus namun kadang malah hyper focus, susah tidur malam, dst. 

sumber: UCLA Health

Setelah dua sesi tes tulis dan dua sesi konsultasi dengan Psikolog Klinis yang ditunjuk, dapatlah diagnosa bahwa aku memiliki ADHD tipe Inatensi. Waw, emejing nggak tuh.. An ADHD mom is taking care an autistic son. Harusnya bisa jadi Masterclass untuk parenting anak spesial nih ya, dimana saya bukan sebagai dosennya, tapi sebagai pesertanya. 

Akhirnya jadi maklum sekarang, kenapa dari zaman sekolah (SD-SMA-S1-S2-S3) saya tidak pernah sekolah yang cuma sekolah. Padat ekskul, padat les, padat gerak. Di saat teman-teman sekolah sepantaran pada malas dan kecapekan karena ikut les ini itu, saya malah bahagia betul saat itu. Selama S1 di Jember juga, selain kuliah, saya juga ikut UKM Bahasa Inggris, ngajar privat Bahasa Inggris, jadi asisten dosen, dan jadi tutor di tempat kursus. Pulang ngajar bisa sampai jam 8 malam, masih berlanjut belajar/ nongkrong sama teman dan baru tidur di tengah malam. Alih-alih merasa kewalahan, saya malah bahagia betul, seperti baterai yang full. S2 saya tempuh sembari mengajar di lembaga bahasa yang franchisenya ada di kota-kota besar di Indonesia, dan juga sembari mengajar priva untuk Bahasa Inggris. S3 apalagi..ya kuliah, ya riset, ya ikut seminar dan workshop, ya publikasi ilmiah, ya ikut komunitas riset dia dua fakultas (fakultas bahasa dan fakultas pendidikan), ya jadi tutor untuk mahasiswa S1, ya ikutan komunitas pelajar Indonesia di Australia, ya ikut pengajian, ya ikut komunitas sastra, ya bersosialisasi dengan berkawan dengan mahasiswa lokal. 

Knowing is power

Bagi saya, mengetahui kondisi diri adalah hal paling dasar dalam self-love. Termasuk ketika saya jadi tahu kalau saya ADHD, saya jadi bisa menyesuaikan diri dan bisa melakukan effort agar saya tetap bisa perform optimal di berbagai bidang tanggung jawab saya: pekerjaan, keluarga, relasi dengan suami, relasi dengan anak, relasi dengan orang tua saya. 

Sejauh ini, ADHD saya tidak menjadi penghalang hidup saya. Justru mungkin, karena ADHDlah saya bisa meraih beberapa hal dalam hidup dalam waktu yang bersamaan. Tentu saja, neurodivergence apapun nama dan jenisnya, selalu ada downside nya. Saya memilih untuk mempelajari apa yang bisa saya improve agar downside/tantangan dari kondisi ini bisa menjadi potensi (ketimbang ancaman) bagi kehidupan saya ke depan. Misalnya:

Karena saya tahu saya pelupa, maka saya jadi rajin mencatat.
Karena otak saya bisa mudah terdistraksi, maka saya jadi belajar teknik Pomodoro.
Karena otak saya butuh lebih banyak dopamin, maka saya jadi cari sumber dopamin alami (misal: berjalan di alam, olahraga, bergerak, menyelesaikan tugas, dll)

Ibarat kata, kalau saya sudah tahu saya punya tingkat asam urat tinggi, maka saya akan menjaga pola makan saya agar tidak mentrigger AU untuk naik, saya akan banyak minum air putih, banyak gerak fisik, minum obat penurun AU, minum jus celery, dll. 

Demikian juga kalau saya dah tahu saya ADHD. saya jadi rajin bikin to-do list, saya jadi belajar dan menggunakan Pomodoro. saya jadi aktif bergerak dan beraktivitas setiap hari, dan saya terus mengisi dosis dopamin saya dengan belajar hal-hal baru yang menarik. 

Well..
Saya panggil tahun 2025 ini sebagai tahun ketersibakan (revealing year). Saya bersyukur dengan God-made neuron yang dianugerahkan kepada saya dan si bungsu. Kondisi neurodivergence tidak dapat disembuhkan, namun kita bisa melatih diri untuk bisa perform seperti teman sebaya kita atau bahkan melampauinya. 




November 5, 2018

Masker Oksigen

photo from: Reader's Digest



Akhir-akhir ini, saya terlibat pembicaraan yang lumayan mendalam dengan sahabat karib saya terkait dengan manajemen konflik relasional. Ada suatu pertanyaan yang sama-sama menarik perhatian kami "dalam kondisi konflik (misal: kesalahpahaman, pertengkaran), mana yang dipilih - menyelesaikan konflik dalam diri terlebih dahulu kemudian menyelesaikan konflik secara bersama-sama; atau menyelesaikannya langsung bersama-sama". Untuk tiap opsi di atas, ada konsekuensi positif dan negatifnya.

Opsi pertama [self healing lalu group healing] mengandung konsekuensi positif dengan cara memberikan waktu tenang bagi masing-masing pihak untuk menata ulang pikirannya. Waktu ini juga bisa digunakan untuk meredam emosi, agar masing-masing tidak saling menyakiti secara verbal. Namun, di sisi lain, konsekuensinya adalah penarikan diri (self withdrawal) oleh salah satu pihak atau bahkan keduanya. Jika salah satu pasangan merasa bahwa dia membutuhkan bantuan/ kehadiran (presence), namun si pasangan satunya memilih untuk  self-healing, tentu saja pihak yang membutuhkan bantuan merasa diabaikan atau bahkan ditinggalkan. Hal ini bisa menimbulkan dampak negatif bagi salah satu pihak, misalnya perasaan tidak didengarkan, tidak diindahkan, tidak diperhatikan, dan seterusnya. Selain itu, waktu resolusi konflik juga biasanya lebih lama, sehingga bisa jadi menimbulkan impresi seperti trauma.

Opsi kedua [group healing] juga memiliki kelemahan dan keunggulannya. Kelemahannya adalah, kedua belah pihak bisa jadi dalam kondisi emosional yang memanas. Dalam situasi yang tidak kondusif seperti ini, kedua belah pihak bisa jadi melontarkan perkataan yang menyakitkan hati, saling menyerang, saling membenarkan pendapat pribadinya masing-masing, dan saling membela diri. Tidak jarang, strategi ini terlihat seperti pertengkaran atau bahkan percekcokan.

Namun, opsi ini bisa jadi memiliki sisi positif. Di antaranya, waktu penyelesaian konflik bisa lebih cepat, karena segala emosi segera termuntahkan di saat yang sama, sehingga masing-masing bisa segera merasa lega. Tidak ada penundaan resolusi konflik juga bisa mengurangi beban pikiran bagi kedua orang yang terlibat. Hal positif lainnya adalah pemahaman mengenai warna emosi pasangan dan ekspresi dari emosi negatifnya. Ini penting bagi penyelesaian konflik ke depan, untuk menghindari topik yang tidak produktif dalam diskusi.

Kembali ke percakapan saya tadi, sahabat saya ini cenderung untuk menarik diri dan 'mengisi baterai' nya sendiri ketika ada konflik dengan pasangannya. Walhasil, pasangan dia semakin marah dan kesal karena si partner terkesan egois, membuat diri sendiri merasa nyaman namun di saat lain membuat pasangannya merasa tidak nyaman.

Menariknya, sahabat saya ini menggunakan justifikasi metaforik masker oksigen. Di pesawat, ketika ada kondisi darurat, seseorang diminta memakai masker oksigen untuk dirinya sendiri sebelum dia memasangkan masker oksigen untuk orang lain [kendatipun itu anaknya sendiri]. Bagi sahabat saya ini, dia tidak bisa membantu partnernya untuk merasa lebih baik [feeling better] ketika dia sendiri sedang kacau pikiran dan perasaannya. Pandangan ini tentu saja memiliki validitasnya sendiri, bahwa seseorang tidak bisa membantu orang lain tatkala dirinya sendiri sedang dalam kondisi kritis.

Sehari setelah percakapan itu, saya terpikirkan lagi metafora ini, sekaligus menyimpan beberapa pertanyaan di dalam hati. Apakah metafora ini bisa digunakan dalam hubungan relasional misalnya antara suami dan istri, orang tua dan anak, dan seterusnya? Kondisi seperti apa yang bisa diartikan sebagai 'darurat' sehingga seseorang harus menyelamatkan dirinya sendiri dulu baru orang lain? Berapa lama seseorang dianggap sudah 'aman' sehingga mampu membantu orang lain? Apakah ada 'blind spot' dari metafora ini jika diaplikasikan pada hubungan romantik atau familial? Adakah posisi 'sharing is caring' dalam metafora ini, jika ada, bagaimana relasinya?

Saya pribadi, jika dihadapkan dalam kondisi konflik seperti di atas, mungkin akan memilih untuk membicarakannya seketika. Saya tidak suka meredam sesuatu dan menjadi beban pikiran. Memang pada saat kritis, saya tidak bisa menjadi diri saya yang terbaik. Namun, bisa jadi pasangan saya tidak membutuhkan versi terbaik dari saya, bukan? Bisa jadi dia hanya butuh saya ada dan hadir. Bisa jadi dengan hadir itu, justru menjadi suntikan energi bagi pasangan saya, ada semacam assurance dan acknowledgement bahwa dia penting, bahwa masalah dia adalah masalah saya juga, bahwa saya mau bersama-sama berproses agar saya dan dia sama-sama tenang dan menenangkan satu sama lain.

Saya tidak suka menunda, tak apa tak jadi yang terbaik, asal jangan saling meninggalkan.



November 1, 2018

Memantul

Bulan ini adalah bulan yang berat bagi saya. Saya memasuki tahun ketiga studi doktoral saya di Australia dan memasuki fase penulisan disertasi. Seharusnya sih, semuanya bisa agak lebih lancar, mengingat data analisis sudah terlampaui, coding sudah selesai, outline disertasi sudah sesuai hasil analisis, dan seterusnya.

Dua tahun bergelut dengan satu hal yakni riset dan disertasi, membuat saya merasa terasing dengan identitas saya sebelum studi, yakni pengajar di kampus. Bagaimana tidak, dua tahun penuh meninggalkan segala dinamika mengajar, meneliti, mengabdi pada masyarakat demi studi S-3 ini.

Harusnya, simpel, mudah dan cepat, kan? Toh saya di Australia tinggal sendiri. Ternyata tidak.

Ada sisi non akademis yang menantang, yang membuat diri menjadi sangat ragu dan kecil hati. Namanya, impostor syndrome. Sindrom ini kurang lebih artinya adalah kondisi psikologis dimana seseorang merasa kurang layak mencapai sesuatu, merasa kurang atau bahkan tidak mampu melakukan pencapaian tertentu.

Studi S-3 biasanya berlangsung hingga empat tahun. Namun, saya membuat target pribadi untuk bisa submit pada akhir tahun ke-3 yakni Juli 2019. Di tengah perjalanan ini, tiba-tiba ada perasaan yang mengganjal yang dipicu oleh sebuah obrolan dengan  mentor saya yang ndilalah sudah profesor duluan.

Suatu saat kami mengobrol di telepon, ya saya biasa lah curhat masalah pembimbing saya, lalu membahas substansi bahasan disertasi saya. Di tengah percakapan, beliau menanyakan beberapa pertanyaan yang belum bisa saya jawab - terkait apa pentingnya dan distingtifnya disertasi saya ini nantinya.

Obrolan tersebut beralih ke hal lain terkait kondisi di tanah air. Namun, saya tidak bisa tidur setelahnya. Berbagai pertanyaan menggelayut di kepala: bagaimana jika ternyata riset saya ini tidak menyumbangkan signifikansi apa-apa pada teori terkini? bagaimana jika ternyata bab demi bab yang saya susun ini kurang bisa membunyikan argumen pokok dari disertasi?

Semakin lama, pertanyaan-pertanyaan ini semakin menukik. Bagaimana jika ternyata saya tidak bisa menjadi scholar atau akademisi yang mumpuni? Bagaimana jika ternyata saya nantinya tidak bisa sekelas/sepadan dengan sosok-sosok mentor yang saya kagumi sejak S-1 dulu? Bagaimana jika saya nantinya hanya akan jadi medioker?

Perasaan tidak nyaman ini berlangsung seharian, hingga saya memaksakan diri untuk pergi ke graduate office dimana para mahasiswa S-3 punya work station nya masing-masing. Saya masih merasa down dari obrolan semalam. Saya duduk saja, membaca-baca jurnal ilmiah yang berasa seperti tulisan mati, mengetik-ketik apa saja yang bisa saya ketik, mereview satu paper yang kawan saya kirimkan siang tadi untuk tugas akhir Masternya, dan tentunya, membalasi whatsapp dari keluarga di Indonesia.

Saya berkata dalam hati "Gusti Allah.. Hamba yakin kalau hamba bisa melewati ujian studi ini. Mohon sabarkan hamba dalam prosesnya. If you put me to it, you will put me through it"

Saya panjatkan istighfar sebanyak-banyaknya, memohon ampun jika saya dzalim terhadap diri sendiri dengan overthinking, saya memohon ampun jika saya banyak menggunakan waktu untuk hal-hal yang kurang relevan dengan studi, saya memohon ampun jika saya kurang bersyukur dengan progress disertasi meskipun sepertinya melambat.

Lalu saya panjatkan Hamdalah sebanyak-banyaknya, mengingat nikmat-nikmat yang sudah saya nikmati namun banyak yang tidak disadari dan dimaknai. Nikmat waktu luang untuk belajar dan berjejaring, nikmat ruang belajar yang bisa dimanfaatkan kapan saja, nikmat fasilitas kampus dan perpustakaan daring yang tak terbatas, nikmat sendirian sehingga harusnya bisa lebih fokus dan minim distraksi.

Akhirnya, saya panjatkan Allaahuakbar sebanyak-banyaknya, menyadari betapa kecilnya pengetahuan saya akan ilmu yang maha luas, betapa kecilnya saya di antara ribuan jutaan ilmuwan di luar sana yang lebih mumpuni dari saya, betapa kecilnya keahlian saya dibandingkan dengan profesor-profesor lain di belahan bumi lain. Saya merasa kecil, saya merasa bodoh. Sehingga saya harus belajar, saya harus terus meneliti. Agar saya tidak terus-terusan bodoh.

Sebelum waktu maghrib, handphone saya bergetar. Sebuah pesan Whatsapp masuk dari seorang profesor yang saya kenal baik di Malaysia. Beliau ini juga leading editor dari sebuah jurnal ilmiah yang terindeks Scopus.

Pesan Whatsapp tersebut singkat dan padat, diawali dengan menanyakan kabar, kapan saya selesai kuliah, dan apakah saya berminat untuk mengirim artikel ke jurnal yang dia kelola, dengan fasilitas fast track alias dibantu dipercepat.

Saya ndrodog. Saya terharu. Saya lemes. Dan saya berbisik "Gusti..Panjenengan maha baik. Saya baru sedikit merasa down, Panjenengan sudah naikkan lagi dengan cepat."

Hari ini, saya terselamatkan oleh tawaran baik ini. Semoga saya bisa menyiapkan naskah dalam jangka waktu satu bulan ke depan.

It is okay to fall down. But when you fall, bounce back.

November 6, 2017

LOMBA BACA PUISI TITI KALA MANGSA - ARNIS SILVIA



Dalam rangka tasyakuran launching buku kumpulan puisi Titi Kala Mangsa (penerbit AE Publishing), penulis mau memberikan sayembara Giveaway buku TiKam khusus untuk 5 orang yang beruntung. 

Apa isi sayembaranya?
Peserta sayembara diharapkan membuat video pembacaan puisi dengan iringan musik (musikalisasi puisi)
Contoh videonya bisa dilihat di sini, atau di sini.


Apa saja ketentuan videonya?
  1. Membacakan 1 dari 5 puisi di Buku Titi Kala Mangsa. Pilihan puisinya di sini
  2. Durasi maksimal video 2 menit
  3. Video boleh menampilkan person (wajah pembaca puisi), boleh juga hanya lirik dengan voice over (dubbing). 
  4. Pembacaan puisi diiringi instrumen musik, baik dimainkan sendiri maupun instrumen dari lagu lain (jangan lupa sebutkan di dalam credit title)
  5. Video menyebutkan judul puisi dan nama pengarang. Misal: Pada suatu mangsa, puisi karya Arnis Silvia. 
  6. Sertakan credit title: penulis puisi, judul buku, voice over, editing, dsb. 
  7. Video diupload di instagram dan dishare di Twitter dan FB. 
  8. Gunakan hashtag: #titikalamangsa #arnissilvia #lombabacapuisi #aepublishing 
  9. Wajib ngetag: @arnissilvia @titi_kalamangsa @aepublishing dan lima teman Instagram kalian yang suka puisi 


What will you get?

  • 1 copy of Titi Kala Mangsa dengan ttd asli dan quote special dari penulis
  • 1 e-certificate sebagai pemenang lomba sayembara 
  • Dimention di blog pribadi dan social media penulis

Info lebih lengkap?

Hubungi PJ acara di 0895382500710 (telp only) or 085649752527 (wa only) dengan mbak Silvi. 

Deadline

Video terakhir diterima pada 19 November 2017. 
Pengumuman pemenang 23 November 2017. 


PUISI PILIHAN UNTUK SAYEMBARA BACA PUISI TITI KALA MANGSA



Halo semuanya. Berikut lima puisi pilihan yang dilombakan.

Pilihan 1. Judul Puisi "Mercusuar"(halaman 69)

Aku mencintaimu seperti suar
menancap kuat dan dalam
tak goyah oleh angin dan hujan

Aku mencarimu seperti suar
di antara gelapnya kehilangan
sinyalku membelah harapan

Aku melindungimu seperti suar
ku tunjuk tajamnya karang
agar luka tak buat kau tumbang

Aku merinduimu seperti suar
melambaimu dari kejauhan
memanggilmu tuk pulang


Pilihan 2. Judul Puisi "Tak ada merdeka di kota" (halaman 49)

Di kota, tak ada yang merdeka
Matahari disekap
ditutup matanya
sebelum sempat terbuka

Di kota, tak ada yang merdeka
Udara diperkosa
hilang sucinya
tinggal karbon dioksida

Di kota, tak ada yang merdeka
Waktu sudah disandera
dalam halte-halte sesak
dalam jalan tanpa celah

Di kota, tak ada yang merdeka
Anak sekolah disiksa oleh angka
para pekerja dikejar uang belanja
dosen dijejali ranking kelas dunia

Di kota, tak ada yang merdeka
Tak pula tidur malamnya
esok cari lagi pundi rupiah
untuk perut-perut yang ada di rumah

Di kota, orang mengibarkan bendera
merah tandanya berani bak ksatria
putih tandanya murni cintanya

Kami semua adalah ksatria
tanpa senjata melawan

musuh tak kasat mata.

Pilihan 3. Puisi berjudul "Di Bawah Cuaca"

Pada sebuah mangsa
Senja memisah kata dan rasa
Benang jarak menjulur jeda
Bersama masa berpisah raga

Tatkala ruang semakin jarang
Hati meregang menahan lengang
Jikala masa merangkul rana
Jiwa menggigil di bawah cuaca.

Pilihan 4. Puisi berjudul "Aku ingin" (halaman 3)

Aku ingin mencintaimu dalam diam
sebab dalam diam tak ada kesepian

Aku ingin mencintaimu dalam sepi
sebab dalam sepi tak ada yang tersakiti

Aku ingin mencintaimu tanpa harapan
sebab harapan terbitkan kekecewaan

Aku ingin mencintaimu sesempatku
dengan begitu aku tak perlu menunggu

Aku ingin mencintaimu hari ini
sebab esok hari masih misteri.

Pilihan 5. Puisi berjudul "Tanya pada langit" (hal.28)

Tanyakan arti kesediaan
Pada langit pagi yang menawan
bangun pagi demi mengawal
sang mentari yang buru-buru datang.

Tanyakan arti kekuatan
pada langit siang yang terik
pada langit tua yang semakin menipis
pada troposfer yang tak pernah menangis.

Tanyakan arti keindahan
pada langit sore yang menakjubkan
mentari dia antar pulang
dengan jingga sejuk pandang

Tanyakan arti rindu pada langit malam,
yang merangkum hari dalam kelam,
yang menyulut bintang gemintang,
yang mengundang rindu dendam.

Good luck ya!! Kirimkan videografi terbaik kalian!! 


2025: TAHUN NEURODIVERGENT

sumber: startupsmagazine.co.uk  Tahun 2025 yang baru berjalan tiga bulan beberapa hari ini, menjadi tahun revealing bagi saya dan anak bungs...