March 18, 2010

Bekerja dengan hati (oleh: Arman Dhani Bustomi)



* Sebuah tulisan dari seorang sahabat senasib dan seperbingungan, semoga menginspirasi dan memotivasi kita untuk terus berproses *


Saya, teman saya dan mungkin juga anda selalu dipusingkan dengan pertanyaan klise macam ini. Kapan lulus (bagi yang kuliah)? Berkembang menjadi, kapan Kerja? Makin menyebalkan menjadi, Kapan Nikah? Dan mungkin yang sedikit menghibur, Kapan punya anak? Saya sendiri memang tidak pernah memusingkan hal-hal tadi, atau lebih tepatnya menolak memikirkan, sehingga tidak jadi pusing memikirkan hal-hal tadi. Bukan karena saya pengecut untuk lari dari tanggung jawab, tapi lebih kepada bagaimana saya memandang permasalahan tadi sebagai sebuah alur hidup. Dihadapi dengan santai, pusing dan keras akan memiliki hasil yang berbeda-beda tergantung bagaimana anda berusahanya.

Beberapa hari lalu saya pergi ke gedung rektorat universitas saya. Dilorong jalan menuju bagian kemahasiswaan saya bertemu dengan tiga gadis yang secara fisik cantik, semampai, semohai atau dalam artian badaniah seksi abis. Ketiganya sedang mengurus syarat kelulusan dan wisuda. Saya iseng menguping pembicaraan ketiga gadis tersebut. Gadis A berpakaian hitam, celana ketat, sepatu putih, dan bermake up tebal, berbicara “untunge mas (sensor) wes megawe dadi aku iso rodo tenang, isolah nguripi aku” ujarnya. Gadis B, berpakaian putih, berkerudung “gak niat”, masih seksi, dan make up tebal, berkata “ojo ngandelno wong lanang,(kita) musti bisa berusaha cari duit dewe, mengko yen due anak dadi ora repot”. Gadis C sedikit pendek berpakaian sangat hot dan make up tebal berujar “iyo, duh mugo-mugo ndang ketrimo megawe, trus mas (sensor lagi) ndang nglamar aku”. Saat itu saya hampir saja menabrak seseorang di lorong jalan. Karena, pertama, terpesona secara fisik oleh ketiga gadis tadi, berusaha nguping dan saya memang ceroboh.

Tulisan ini bukan tentang betapa seksinya gadis-gadis tadi, tapi lebih pada obrolan mereka. Saya pribadi tidak peduli tentang bagaimana nasib saya setelah lulus nanti, oke saya bohong, saya SANGAT KEPIKIRAN SAMPAI MAU GILA! Kerja jadi semacam teror tersendiri buat saya, setiap mendengar kata-kata itu saya jadi lemas dan mau menangis saja. Sampai umur saya yang hampir seperempat abad ini saya masih belum mapan. Belum bisa memberi banyak terhadap orang tua yang sudah berjibaku merawat sejak dalam kandungan. Orang bilang saya aktifis yang katanya membela kepentingan rakyat, berjuang demi rakyat dan memberi untuk rakyat. Saya sendiri jadi malu dengan status banal artifisial macam ini. Siapa bilang hal itu gagah? Itu tanggung jawab! Siapa bilang itu keren? Itu beban! Untuk menghidupi diri saja saya mesti meminta bantuan pada kakak dan orang tua saya. Perjuangan tidak dibangun dari belas kasih, kemandirian, kerja keras dan disiplinlah yang membentuk itu semua.

Saya bukan orang yang pilih-pilih kerja, kedua orang tua saya sudah mengajarkan kemandirian sejak kecil, dan seringkali dalam beberapa hal didikan orang tua saya membuat saya jadi oportunis, jeli melihat peluang dan sedikit matrealis dalam memandang hidup. Dimulai saat ayah saya kecelakaan, keluarga kami yang semula sederhana mulai masuk ke dalam kategori keluarga miskin versi PBB. Saat itu saya masih kelas 3 SMP. Keluarga saya pontang-panting kesulitan membiayai penfgobatan kecelakaan ayah saya yang gegar otak berat, 3 kakak saya yang kuliah, saya dan adik saya yang masih belajar di pendidikan dasar. Jadilah ibu saya didaulat menjadi kepala keluarga, bekerja dari pukul 5 pagi sampai 9 malam. Sering lupa makan, lupa sholat tapi tak pernah lupa memberi makan saya dan adik saya.

Kira-kira paruh waktu kelas 3 SMP, ibu saya sudah hampir kelimpungan dalam pembiayaan sehari-hari dan biaya pendidikan kakak saya. Sehingga salah seorang kakak saya harus berhenti kuliah, toko kelontong yang menjadi tulang punggung keluarga mulai habis tanpa terisi lagi, karena kami sekeluarga sibuk merawat ayah. Sedikit demi sedikit harta keluarga dijual, mulai dari tanah, rumah, yacht, jet pribadi, limousine, villa dan peternakan kuda. Oke, saya becanda, yang jelas ibu saya musti bekerja serabutan dan kakak saya harus berhenti kuliah untuk memberi makan dan membiayai perawatan Ayah. Pernah satu hari kami hanya makan nasi dan garam, dan sering kali ibu saya tidak makan hanya supaya saya dan adik saya bisa makan. Dan beberapa kali tidak makan seharian. Saya sering kali menegur kenapa beliau tidak makan, dan beliau bilang sedang puasa. Jika saya ingat momen itu, saya selalu bersukur atas nikmat yang saat ini saya peroleh.

Suatu saat itu ibu saya memanggil saya dan mulai bicara, kira-kira intinya seperti ini. Kita pernah hidup cukup, berlimpah malah, cuman membuat kita lupa bersukur dan takabur. Ini ujian dari Allah, nah kamu sudah gede, belajar bertanggung jawab. Saya yang masih remaja tanggung yang masih dalam masa puncak puber harus menghadapi kerasnya kenyataan, ya tentu saja kelimpungan. Saat itu saya mulai membantu kakak saya berjualan minyak tanah, berdagang kerupuk, dan menjaga toko kelontong di rumah. Jarang sekali saya melihat ibu dan kakak saya mengeluh, mereka menjalani semua itu seperti sebuah tanggung jawab terhadap keluarga. Dan saya bersyukur kepada Allah karena memberikan sebuah keluarga yang mengajarkan tentang arti ikhlas tanpa harus berkata.

Kondisi keluarga saya sedikit demi sedikit berangsur pulih, salah satu kakak saya akhirnya lulus kuliah dengan IPK baik (semoga saya juga demikian), dan bekerja di salah satu perusahaan multinasional. Dengan suport darinya Alhamdullilah saya, adik saya dan ibu tak perlu lagi khawatir tentang makan dan biaya kesehatan Ayah. Kakak saya yang lain juga mulai menampakan hasil kerjanya. Saat itu saya sudah SMA dan tiap hari saya berjalan kaki ke sekolah dengan membawa dagangan kerupuk untuk dijual. Seringkali tanpa uang saku dan percayalah saat itu berat badan saya hanya 60an kilo! (bandingkan dengan saat ini yang ‘hanya’ 95kilo). Jujur saat itu saya ada sedikit rasa malu, jengkel dan marah. Malu, karena saat remaja lain bisa punya waktu untuk pacaran, saya musti bekerja dagang kerupuk lagi! Jengkel karena sedikit pun saya tak menikmati hasil uang kerja keras saya (yang pada suatu saat saya tau jika uang tersebut ditabung untuk membelikan saya motor), marah karena saya merasa Allah tidak adil dalam distribusi kesejahteraan.

Dan inilah saya saat ini dengan bobot mati 95 kilogram, tinggi tak lebih dari 165 cm, lingkar dada 32b, rambut kriting panjang tak terurus, semester 10, IPK tak lebih dari 3, dan kemampuan rata-rata lulusan perguran tinggi Indonesia. Sedang kebingungan memandang hidup, dengan pertanyaan besar. Habis ini mau kerja apa? Tapi setidaknya dalam hidup saya yang biasa saja ini banyak orang luarbiasa yang membentuk pribadi saya. Teringat sebuah puisi Wiji Tukul, Seperti tanah lempung Pinggir kampung, Masa laluku kuaduk – aduk, Kubikin bentuk – bentuk Patung peringatan. Ada keluarga yang memberikan saya arti bahwa hidup itu bukan seperti sapi, bekerja Cuma untuk makan dan tidur. Bekerjalah untuk sesuatu yang kau cintai dan sayangi, agar hidup tak Cuma jadi robot yang menjalankan perintah.
Dalam bekerja, ada tanggung jawab yang mesti dilakukan dan diamalkan. Bekerja dengan hati adalah sebuah jalan hidup. Maka saya tak lagi takut untuk cepat lulus dan bekerja. Saya tak munafik ingin kaya raya, punya status dan kedudukan. Seringkali dalam kehidupan masyarakat paskakolonial, segala pekerjaan diukur dari seberapa banyak harta yang kau punya dan seberapa penting posisimu dalam masyarakat. Bukan seberapa banyak hal bermanfaat yang sudah kau perbuat untuk masyarakat, atau seberapa bijak kau dalam mengatasi masalah. Tak percaya? Seberapa panjangkah antrian untuk menjadi amtenaar dibandingkan antrian menjadi pendamping anak jalanan? Atau seberapa banyak yang ingin ikut indonesian idol dibanding membuat penghijauan di lereng merapi?

Dalam hidup khususnya bekerja saya tidak ingin mengalami apa yang terjadi pada Sisyphus, manusia yang dikutuk dewa-dewa dalam mitologi yunani. Ia dikutuk untuk terus mendorong sebuah batu dari dasar bukit menuju puncak bukit hanya untuk kemudian jatuh lagi disisi lainnya. Aspice, officio fungeris sine spe honoris amplioris (Face it, you're stuck in a dead end job). Saya tak pernah mau begitu, dan semoga saya diberi jalan keberanian dan kemauan untuk tak hidup semacam itu.
Bekerja dengan penghasilan besar, berkdudukan tinggi dan sukses adalah cita-cita besar saya selain keliling Afrika dan menjelajah Mongol. Namun jika hal itu membuat saya teralienasi dan banal dalam menjalankan hidup. Saya memilih untuk jadi seorang yang gagal kaya, namun menikmati hidup seperti sebuah buku. Membacanya dari sebuah huruf, lalu kata, lalu kalimat, lalu paragraf, lalu sebuah bab dan akhirnya pada halaman akhir. Sebagai sebuah penutup ijinkan saya mengutip bait akhir puisi Riwayat yang dibuat Wiji Tukul.

Lihat !
Diriku makin blepotan
Dalam penciptaan

Masker Oksigen

photo from: Reader's Digest Akhir-akhir ini, saya terlibat pembicaraan yang lumayan mendalam dengan sahabat karib saya terkait deng...